Kesepuluh

11.2K 1K 14
                                    

Monday is very busy day.

Pagi extra, mengawali kegiatan hari ini, semua staf di tuntut produktif akan itu. Kakiku mondar mandir kelimpungan. Sudah ke tiga kalinya aku keluar masuk, mengerjakan perintah Sang Boss. Aku tidak mengerti apa yang salah, Oh- mungkin dia mencoba menyiksaku seperti hari sebelumnya.

Aku mulai merutuki Juki, laporan pertanggungjawaban ini seharusnya dia yang mengerjakan. Bisa-bisanya dia bersantai dengan mengatasnamakan sakit, aku enggak percaya perihal sakitnya, paling hanya mencret biasa. Alibinya itu tidak masuk akal.

Saat ini aku mencoba untuk bersabar, mengerjakan perintahnya dengan baik dan berusaha bersikap sopan padanya. Aku kembali menuju kubikel tempatku bekerja, melewati kubikel Alifya-senior panutanku berada.

"Kemana sih lo? mondar-mandir mulu, pusing gue liatnya." Tanyanya heran, matanya berfokus pada monitor di depannya.

"Si Juki kemana sih mbak? Gara-gara dia nih, gue ketiban sial sama Bos sarap yang satu itu." jawabku sebal.

"Sakit kan? Barusan dia ngirim surat dokter di grup, gue jadi kasian sama si buntelan kentut. Pulang nanti mau jengukin?"

Jangan percaya.

"Ahh paling surat setahun yang lalu dia jilid jadi banyak. Liat nanti deh, semoga aja nggak lembur."

"Yaa... siapa tau kali ini beneran sakit." bela Mbak Pia. Lalu kami berfokus kembali pada pekerjaan masing-masing.

.
.
.

Aku kembali keruangan Boss sarap itu, terhitung sudah yang keempat kalinya. Menyerahkan beberapa dokumen yang dia minta sebelumnya. Dia nampak membolak-balikan kertas di dalamnya. "Balance sheet bulan lalu mana?" matanya berfokus pada map di tangannya.

"Ada di dalam map merah Pak."

"Good." jari tangannya mengudara, berayun, tanda mengusirku.

Sial.

Aku segera keluar. Ruangan berkaca,  dominasi dasar putih gading dan beberapa garis biru gelap pada dinding-dindingnya. Megah, teratur dan tegas. Sedikit ragu akan sifat penghuninya, yang menyebalkan.

Kembali bergelut pada berkas-berkas, mengerjakan apa yang sempat tertunda. Sambil menunggu jam makan siang tiba. Setengah jam lagi.

Kini aku mengintip dari balik sekat antara mejaku dengan Mbak Pia,mengingat namanya aku langsung teringat makanan yang terbuat dari campuran kacang hijau dengan gula, yang dibungkus dengan tepung lalu di panggang. Sangat cocok untuk menambal perut di jam-jam menjelang lunch seperti ini.

Setengah berdiri, kepalaku berpangku pada tangan kanan, menyaksikan gerak geriknya. "Tuh kan, kalo ada makanan suka lupa sama gue." kataku dengan tatapan menyipit.

"Lebay lo, baru mau di buka." katanya, lalu menyodorkan biskuit ditangannya padaku.

"Makasih, lagi diet." jawabku menolak.

"Prett... Badan selempeng papan begitu mau di dietin." ledeknya.

"Ihh Mbak Pia, gini-gini kalo dibuka masih banyak yang mau tau!" aku membalasnya.

Mbak Pia memasang wajah jijiknya. "Kalo lalet nggak heran deh gue."

Malik sang kepala HRD melintasi kubikel kami sambil membawa secangkir teh. Terlihat jelas label teh yang menggantung di pinggirnya. Malik berbeda, tidak seperti kebanyakan yang menyukai berbagai jenis kopi. Saat di tanya jawabannya menarik.

Daripada di minum, gue lebih suka dijadiin masker.

Menghampiri kami, tangan kanan kokohnya menggenggam cangkir, sesekali meminum isi di dalamnya.

"Masih setengah jam lagi, udah berisik aja lo berdua."

"Cacing gue minta pembukaan, Mau?" tawar Mbak Pia.

"Thanks."  jawab Malik singkat. "Oiya si Juki sakit katanya? Jengukin nggak nih?"

"Boleh, pulang kantor gue tunggu di lobi." kata Mbak Pia.

Aku menyimak, mendengar percakapan keduanya. "Diem aja lo, sakit juga?" tanya Malik padaku.

"Nggak ada yang nanya, yaa diemlah." jawabku seadanya.

"Lagi kesel dia, dijadiin gosokan sama si bos." tawa Mbak Pia puas.

Pintu ruangan sang-bos terbuka. Kami kalang kabut melihatnya. Malik yang berdiri di antara meja kami, memasang wajah santainya dan berjalan stay cool menuju meja kerjanya. Mbak Pia yang tengah berdiri, pura-pura meregangkan badannya yang baik-baik saja. Sedangkan aku, berjalan cepat menuju pantri untuk menghilangkan dahaga yang bercampur kepanikan. Semua kamuflase dilakukan dengan baik, seakan tak terjadi apa-apa sebelumnya.

Doubleshit, dia mengikutiku.

"Ngapain disini?" tanyanya sambil bersandar di meja pantri.

"Ngambil minum." jawabku cepat, mencoba mencari alasan.

"Ohh gitu, nanti bawain saya makan siang ya, saya malas turun ke bawah." katanya santai dengan tampang innocent nya itu.

Hah?

Aku yakin, mataku nyaris melotot ke arahnya. Selain menjadi cungpretnya, aku harus terbiasa menjadi Mang Ali kedua untuknya.

"Kenapa? Keberatan?" tanyanya kembali.

Aku hanya menggelengkan kepala.

"Oke. Saya tunggu, beli apa aja yang bisa di makan dan enak." pesannya. Lalu dia melangkah keluar pantri dengan santainya.

BOSS-AN PAK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang