Part 9

6 0 0
                                    

Page 9 : PTSD

"Kenapa kamu sangat peduli?" Tanyaku pelan.

"Hm? Aku temanmu... juga tetanggamu." Suasana jadi canggung berkat pertanyaanku.

Jam sudah menunjukan pukul 10 malam. Aku harus istirahat untuk memulihkan tubuhku. Tapi pikiranku masih tertuju pada Ara. Setidaknya aku bisa suruh Xavi untuk melihat keadaan sekolah besok.

"Besok liatin kalau Ara masuk ya."
- Sent : 10.21

"Kenapa?"
- Sent : 10.22

"Kayanya gue besok engga masuk."
-

Sent : 10.22

"Pingsan lagi? Udah cek?"
- Sent : 10.22

"Udah, tapi hasilnya belom tau. Besok aja gue minta ke Jungkook."
- Sent : 10.23

"Jungkook? Yaudah nanti aja ceritanya, gws."
- Sent : 10.23

Aku memang belum menceritakan Jungkook pada Xavi. Mungkin aku harus mulai semuanya ke Xavi. Dia yang paling bisa aku andalkan.

***

*bel berbunyi

Aku masih ada di apartemen, tengah duduk di ruang tamu. Jungkook datang membawa secarik kertas. Ini masih jam 10 pagi, aku belum siap untuk mendengar kabar buruk mengenai kondisiku.

"Gimana udah mendingan?" Tanya Jungkook sambil menghampiriku.

"Ya gitu deh.." Sejak awal Jungkook memang dingin. Itu semua terlihat dari kata – kata yang biasa dia ucapkan. Tapi siapa sangka dia sangat peduli dengan orang lain?

"Udah siap baca hasil tes belum?" Jantungku berdetak kencang mendengarnya.

"Cepat atau lambat, aku harus mengetahuinya." Dia menyerahkan kertas itu.

Aku kurang suka dengan hal yang berbau rumah sakit, jadi aku juga jarang membaca surat seperti ini. Aku tidak mengerti sebagian besar dari isi kertas itu. Satu hal yang aku baca adalah tulisan " PTSD " yang dicetak tebal.

"Aku masih ada urusan, sampai nanti." Aku baru mau bertanya soal hasil tes ini, tapi dia pergi tiba – tiba.

Di kertas ini tertulis PTSD dengan tulisan tebal yang dibawahnya terdapat kepanjangannya " Post Traumatic Stress Disorder ".

Crap! Apakah ini maksudnya aku mengidap kelainan jiwa? Psikis? Apakah kejadian itu adalah alasan dibalik semua mimpi aneh ini? Tapi kalau memang iya kenapa mimpi pertemuan keluarga Ara bisa sama dengan kenyataan?

Mungkin sebaiknya aku mengunjungi terapis. Siapa tau aku bisa mendapatkan jawabannya.




Setelah semua kebingungan ini aku memutuskan untuk pergi menenangkan pikiranku. Tubuhku sudah fit, hanya otakku masih terasa runyam.

Aku berganti pakaianku dengan yang sesuai untuk olah raga. Orang bilang olah raga dapat menjernihkan pikiran. Dan disaat yang bersamaan juga aku dapat menjaga kesehatan tubuhku.

Aku tidak biasanya berolah raga di tempat formal seperti gym. Waktu aku masih di Busan biasanya aku olah raga sendiri di rumah. Setidaknya untuk menjaga kebugaran tubuhku dan mencapai tinggi yang ideal. Menjadi pendek adalah mimpi buruk untukku.

"Hai. Boleh berkenalan?" Panggil seseorang menghampiriku.

"Ah tentu. Min Yoongi, kamu?" Aku sedang istirahat, begitupun dengan dia.

"Kim Namjoon, kamu orang daerah sini?" Dia berpostur cukup tinggi. Setidaknya lebih tinggi dariku. Aku jadi merasa malu sendiri.

"Aku tinggal di Atmosphere Apartment. Tidak jauh dari sini." Dia terlihat cukup menyenangkan untuk diajak berbicara.

"Ah salam kenal, aku polisi di daerah ini. Kalau aku berpakaian lengkap, orang sungkan untuk mendekatiku. Jadi aku kesini untuk menciptakan relasi." Polisi? Kebetulan sekali kalau begitu.

"Ah begitu ya, bisa kita bertukar nomor telepon?" Dia mengangguk dan mengeluarkan handphonenya seketika.

Setidaknya aku diberikan kemudahan dengan mendapatkan relasi seorang polisi. Jika tidak ada perkembangan dari Xavi mengenai Ara, aku akan menghubungi dia.

Aku menengok ke jam tanganku dan sudah jam 2 siang. Tidak lama lagi sekolah akan bubar. Aku mengirim pesan pada Xavi dan mengajaknya bertemu di taman dekat apartemen.

"PTSD?" Wajahnya mengkerut kebingungan.

"Iya.." Tidak ada satupun dari kami yang mengetahui apa itu PTSD yang dimaksud.

"Tar ya gue liat di internet dulu." Sambil dia mencari – cari informasi aku masih memikirkan mimpi kemarin.

"Post Traumatic Stress Disorder... gangguan pada seseorang akibat pengalaman yang membekas dan menjadi memori kelam yang terus teringat dan membuat penderita stress." Sebutnya.

"Hmm.. tapi gue masih normal tuh. Engga stress." Jawabku. Aku yakin pasti ini semua karena ayah.

"Belom. Emang lu pernah ngalamin kejadian kaya gitu?" Jantungku berdetak keras. Aku lupa kalau aku belum pernah menceritakan apapun pada Xavi.

"Ehmm ya gitu deh, nanti gue ceritain. Jawabannya iya." Dia tidak bertanya langsung kali ini, untung dia mengerti.

"Jadi hal itu yang buat lu pingsan belakangan ini? Sampe masuk rumah sakit?" Aku sendiri ga tau apakah ini benar – benar hanya akibat stress atau semacamnya.

"Engga tau juga... gimana soal Ara?" Setidaknya aku sudah tau apa hasil tesku, jadi aku alihkan pembicaraan.

"Expected. Engga keliatan batang idungnya." Aku tertegun diam. Mungkin setelah ini aku akan menghubungi Namjoon.

"Jimin juga. Gue yakin pasti mereka ada hubungannya." Sebutnya. Aku hanya berharap itu semua salah.

Karena kecemasan yang saling tumpang tindih antara satu dan yang lain aku langsung mengeluarkan handphone dan berniat menghubungi Namjoon. Tapi aku sempat terdiam, memikirkan apakah ini hal yang tepat.

"Jadi gimana?" Sahutnya tiba – tiba.

"Apanya?"

"Ya jadi apa yang mau lu lakuin?"

"Besok izin yuk?" Wajahnya berubah bingung tapi girang.

"Mau cari Ara?" Aku mengangguk pelan.

"Yaudah, tancap gas!"

***

Aku kembali ke apartemen yang sepi sejak hilangnya Ara. Kadang aku melepas rindu dengan masuk ke apartemennya. Beberapa barang miliknya dapat membuatku tenang. Termasuk coklat yang aku simpan, yang sudah mengeras sepenuhnya.

Entah kenapa memandang coklat ini membuatku membulatkan tekad untuk mencari Ara. Semangatku menggebu – gebu. Setidaknya sampai aku keluar dan berpapasan dengan Jungkook.

Walaupun situasi agak canggung, aku berusaha tidak melihatnya seperti seseorang yang aku takuti. Mimpi itu kan belum tentu kenyataan. Kecuali yang pertama.

Karena semangat yang menggebu – gebu itulah aku langsung bersiap untuk tidur. Padahal baru jam 8 malam. Biasanya juga tidur jam 12. Bagaimana juga tetep ga bisa tidur secepet yang diinginkan. Jadi aku mengirim ibu pesan.

"Apakabar bu? Kondisi aman?"
- Sent : 20.25

"Aku ingin pulang, tapi kondisi belum memungkinkan :("
- Sent : 20.25

"Bu?"
- Sent : 20.50

"Sudah tidur ya? Kalau gitu hubungi aku besok yah. Sweet Dreams."
- Sent : 21.05

Cure | Completed ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang