Part 14

5 0 0
                                    

Page 14 : Dulu

"Nama kamu mana? Kok ga ada?" Jam istirahat sudah kami habiskan untuk melihat mading sekolah.

"Iya ah pulang sekolah cari lagi aja ya." Aku menghembuskan nafas panjang tepat sebelum akhirnya bel berbunyi.

Semua yang keluar dari ucapan guru tidak ada yang aku tangkap. Bagaimana ceritanya nama aku tidak terpampang di daftar kelulusan. Apa ini maksudnya aku tidak lulus? Aku hanya menatap kosong ke arah guru di depan tapi sebenarnya tidak ada yang aku pikirkan selain kelulusan sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap.

"Ara?" Dia terlihat buru – buru, mau kemana dia?

Dia mendadak membawa semua barang – barangnya dan pergi dari apartemen. Dia tidak sama sekali menjawab panggilanku, mendengar saja aku ragu. Tapi kalau dia memang mau pindah kenapa tidak pernah memberitau aku? Apakah aku ada salah dengannya?

Dia membawa dua koper yang terlihat berat. Aku penasaran kemana dia menuju tapi dia terlalu cepat. Hal terakhir yang aku lihat hanyalah dia masuk ke sebuah mobil. Mobil yang tidak asing yang pasti pernah aku lihat di suatu tempat.

"Sst! Sampe kapan mau disini?"

"Ha?" Kepalaku terasa sakit, seisi kelas sudah kosong. Aku ketiduran?

"Jam?"

"Tiga."

"Udah nunggu lama ya? Maaf ya aku ambil mobil dulu." Rasa bersalah dan panik bercampur aduk. Teganya semua orang tidak ada yang membangunkanku.

"Sejak kapan aku tidur?" Tanyaku pelan.

"Engga lama kok, kira – kira jam 11 lah." Aku melihat jam tangan dengan cepat dan sekarang menunjukan jam 3 sore, ya, 3 sore. Aku termenung.

"Enak ya tidurnya?" Tanya Ara sinis.

"Lumayan.." Jawabku santai karena masih dengan suasana ngantuk. Kemudian raut sinis terpampang dari wajahnya. Seketika aku sadar, dia ngambek.

"Ya maaf yaa jadi nunggu lamaa..." Kataku mencoba melunakkan amarahnya.

"Tadi aku mimpi kamu kok. Serius." Lalu wajahnya berubah antusias.

"Mimpi gimana?"

"Kamu pergi dari apartemen ga bilang – bilang." Lalu antusiasnya hilang seketika. Berubah menjadi sinis kembali.

Situasi menjadi hening untuk beberapa saat. Sebelum aku berhenti di tempat yang cukup berkesan untuk aku dan Ara. Setidaknya kalau aku tidak bisa membuat emosinya mereda, aku dapat memberinya waktu agar emosi itu mencair dengan sendirinya.

"Mba Seaweed Loaded Fries-nya satu ya... yang jumbo boleh deh." Kebetulan karena hampir setengah hari di sekolah aku tidur jadi belum terlalu lapar.

"Kamu inget ga dulu kita sering duduk disini sampe sore?" Dia mengangguk.

"Kita udah lama ga kesini loh." Aku berusaha memancing dia untuk bicara, paling tidak beberapa patah kata.

"Masa sih?"

"Ya kan kamu sempet ngilang dulu, udah itu kita sibuk banget sama ujian. Apalagi sering banget ijin ga masuk cuma buat nyari kamu." Wajahnya jadi sedih, mungkin dia merasa bersalah.

"Seaweed Loaded Fries-nya kak?" Setidaknya suasana menjadi tidak canggung. Disaat Ara masih terdiam, aku sudah mulai makan.

"Engga mau?"

"Engga beli"

"Ya ini buat kamu"

"Terus kamu?"

"Belom laper, makan aja."

Beberapa patah kata yang simpel saja sudah membuatku senang. Melihatnya makan membuatku senang, aneh. Food truck ini sudah ada sejak bertahun – tahun lalu, saat pertama kali kami bertemu. Dengan lantai bebatuan, meja yang menghadap danau ditemani matahari senja.

Biasanya kalau pikiranku sudah jenuh aku kesini. Entah tidak atau bersama dengan orang lain termasuk Ara, melihat matahari terbenam.

"Kamu tau ga satu – satunya yang aku harapkan sekarang?" tanyaku sambil memandang indahnya pemandangan.

"Aku hanya berharap kalau mim-"

"Kok berenti?"

"Nih, ngaca." Aku mengaktifkan kamera depan handphoneku ke arah Ara. Wajahnya penuh dengan minyak dan taburan rumput laut.

"Oke – oke lanjutin." Setelah dia membersihkan mukanya dia kembali melahap makanan.

"Aku hanya berharap kalau mimpi itu engga akan jadi kenyataan."

"Mimpi yang mana?" Masa udah lagi?

"Tadi siang."

"Ooh, maaf ya mimpi kamu kebanyakan sih." Aku tersentak sesaat, kata – katanya ada benernya juga.

"Engga mungkin itu jadi kenyataan. Kamu terlalu penting untuk ditinggal." Dengan sendirinya senyumanku terukir.

Setelah beberapa saat menjauh dari mimpi – mimpi aneh yang sering aku rasakan, kami kembali ke rumah. Di tengah jalan Ara sempat memberi aku suatu amplop yang isinya tanda kelulusanku. Pake amplop soalnya nilai terbaik katanya.

Ya setidaknya aku tau kalau aku sudah lulus. Aku bisa keluar dari penjara sosial yang biasa disebut sekolah.

Aku langsung memberi kabar pada ibu karena tidak lama lagi akan ada acara kelulusan. Tidak mungkin aku hadir tanpa orang tua, setidaknya ibu sudah cukup.

*knock knock

"Gimana udah ngedatenya?" sindir Jungkook yang tiba – tiba masuk.

"Widihh peringkat pertama satu sekolah? Ternyata kamu memang bisa diandalkan ya. Selamat." Aku seharusnya senang, tapi entah kenapa aku tidak bisa.

"Terima kasih..." Jawabku dengan nada monoton.

"Eh.. kenapa?"

"Engga papa, sepertinya ada sesuatu yang ganjal."

"Maka dari itu aku hadir disini." Dia bersedia untuk menjadi tempat curahan pikiranku yang sudah aku pikirkan selama ini.

"Apakah kamu sudah pernah jatuh cinta?"

"Ya, cinta itu hal yang berat. Kenapa?"

"Apakah kamu pikir aku jatuh cinta dengan Ara?"

*knock knock

"Yoongi!! Aku mau pinjem buku yaa." Katanya tiba – tiba, meraih beberapa buku, lalu keluar lagi. Aku dan Jungkook beku seketika.

"Yah mungkin? Saranku hanya pikirkan semuanya sebelum kamu mengambil langkah selanjutnya." Tegasnya.

"Saat ini aku takut apa yang aku mimpi akan kembali terulang. Dia pergi dari sini tanpa sepatah kata pun." Kalau dipikir – pikir beberapa mimpiku sering menjadi kenyataan. Aku merasa kurang enak dengan mimpi yang satu ini.

"Wah, sepertinya kamu memang benar – benar jatuh cinta. Maka dari itu, lebih baik kamu pikirkan dulu semuanya sebelum kamu mengambil langkah." Jawabnya. Aku terdiam sesaat.

"Yaudah aku mau pergi, dah."

Saat ini yang aku pikirkan hanya mimpi itu. Kadang mimpi orang – orang dapat menjadi kenyataan. Sama seperti yang aku rasakan sebelumnya.

Aku harap ini semua tidak terjadi.

"Beri aku kesempatan, Choi Ara."

Cure | Completed ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang