20. Balas Budi

95 14 1
                                    

Sejak kejadian itu, Jhesy merasa Tian malah menjauh darinya. Tidak ada lagi chat yang dikirim dari Tian untuknya. Biasanya, setiap Jhesy sudah memasuki pintu rumah setelah bersekolah. Ia akan menemukan sebuah notifikasi chat dari Tian, entah berisi apa itu. Tapi sekarang tidak ada lagi, dan ia merasa agak kesepian dengannya.

"Jhes, pr matematika lo udah bikin?"tanya Ella sambil membolak-balik buku matematikanya.

"Ah, gak usah dibikin paling nanti pak Yuhdi lupa lagi"sahut Nesya santai.

"Lupa-lupa pala lo, elo sendiri udah?"sembur Ella.

"Udah dong"kekeh Nesya berlagak sombong.

"Tuh kan, nanti kalo gue dihukum sendirian dong"rengek Ella.

"Iya, iya.. aku udah kok nih"Jhesy memberikan buku matematikanya ke Ella.

Ella tersenyum seraya mengucapkan terima kasih. Ia kemudian sibuk dengan bolpoin dan menulis.

"Oper, oper!"seru David.

Bola yang menggelinding di kaki Reza itu kini beralih di David. Mereka tampak begitu bersemangat untuk saling mengoper bola sepak dari plastik itu, bukan hanya Reza dan David. Ada juga Shaka, Rafa, Wahyu, dan Adi. Untuk mengisi waktu di jam pelajaran konseling yang kosong karena gurunya sedang cuti melahirkan ini, mereka —para cowok dari XI-2— memutuskan untuk menyulap ruangan kelas menjadi lapangan sepak bola pribadi untuk mereka. Selain bermain sepak bola, kadang bola sepak yang dibeli dari uang patungan itu juga digunakan bermain candak-candakan*. Dan mereka terlihat menikmati permainan sederhana itu.

Masalahnya, cuman cowok-cowok saja yang menikmatinya. Sedangkan yang cewek dibiarkan tersiksa karena bau keringat yang akan memenuhi kelas setelah para cowok itu lari-larian tanpa henti. Kalau bisa, mungkin sudah dari dulu cewek-cewek akan memprotes hal tersebut pada yang cowok. Tapi mereka masih sayang perasaan, cowok-cowok XI-2 itu bengis. Jika dinyinyirin, mereka tidak bakal terima. Mereka pasti membalas dengan balasan yang kadang bikin sakit hati. Kalau sudah mulai adu mulut antara cewek vs cowok, jangan tanya deh. Serunya ngalahin perang dunia ke II.

"Shaka, tendang!"jerit Reza.

Shaka mengangguk, ia menerima operan bola itu kemudian mengarahkannya pada belakang kelas. Agak sulit memang karena gawang berada di celah diantara deretan bangku terakhir dengan dinding belakang kelas. Sedangkan posisinya saat ini berada di depan kelas, tempat guru berdiri menjelaskan pelajaran.

"Tendang Ka!"pekik Reza benar-benar menghayati permainan itu sehingga menganggapnya seperti pertandingan yang sesungguhnya.

Shaka mengangguk, ia mengambil ancang-ancang kemudian menendang. Shaka, salah satu cowok terkaya di kelas. Anak dari  CEO yang membayari salah satu tim sepak bola, dan dia menyukai bidang fotografi. Cerdas namun dikenal sebagai Mr Nyinyir. Cowok yang mengerti segala hal tentang bola, tapi sejujurnya tidak bisa mempraktikannya dengan benar. Dan orang itu kini sok-sokan menendang bola dengan lagak songongnya kepedean kalau bola yang ia tendang itu bakal masuk ke gawang.

"Goo—"ujaran itu tiba-tiba ia hentikan saat ternyata bola itu tidak jadi masuk namun malah menampar keras kepala seseorang. Ia adalah Setya yang duduk di sebelah Tian.

Agak konyol memang tapi, tendangan yang cukup keras itu membuat kepala Setya membentur wajah Tian yang ada di sebelahnya.

"Monyet"umpat Tian sembari memegangi wajahnya yang terkena benturan Setya. Ia melepas tangannya dan terlihat, tetesan darah keluar dari sudut bibirnya yang tersobek. Semua yang melihat berpekik, begitu juga dengan Shaka.

"Bro sori"kata Shaka.

Tian meringis jijik menatap wajah Shaka. Dia kemudian bangkit dan pergi ke UKS. Sempat Tian melewati Jhesy yang sedari tadi juga menonton adegan dramatis itu sambil menutup mulut dengan buku.

"Nes, la aku duluan ya"kata Jhesy sambil bangkit dari kursi.

"E, eh mau kemana?"tanya Nesya.

Ella yang sepertinya mengerti memanggil Jhesy. "Selamat berjuang Jhes!"kata Ella sambil mengepalkan tangan keatas. Jhesy terkekeh seraya melanjutkan larinya.

"Kenapa sih?"tanya Nesya yang tidak mengerti.

-Never End-

Tian berjalan terseok-seok menelusuri lorong sekolahan. Sepi, sebab KBM masih berlangsung. Setelah melewati WC, lobby, dan tangga ke lantai dua, Tian akhirnya dapat membuka ruangan surga baginya saat ini. Sayangnya, malaikat penolongnya—dibaca; perawat UKS— sepertinya sedang keluar sehingga Tian hanya bisa tidur di ranjang dan menunggu. Tian tidak mengerti bagaimana cara mengobati luka, sama sekali. Ia harus jujur, walaupun tampang Tian itu sangar dan kelihatan cool sebenarnya Tian tidak bisa meneteskan betadine diatas luka, atau memasang hansaplast. Ia lebih baik tidur dan berharap rasa sakit di lukanya itu agak mendingan.

Hingga tiba-tiba, korden kamar yang ia gunakan itu terbuka. Dan sosok itu terdiam sebentar disana, memandangi Tian dan lukanya yang belum teratasi. Ia berjalan kearah Tian.

Tian meringis, ia bangkit dan duduk di ranjang. Dibiarkannya sosok itu juga duduk di sebelahnya sambil menatapi robekan di sudut bibirnya yang agak terbuka. Sosok itu meringis pelan, agak ngeri dengan robekan itu.

"Aku jadi semakin menakutkan banget ya"kekeh Tian.

Orang itu tertawa. "Mau aku obatin?"tanyanya sembari menunjukkan obat merah.

"Anggap aja sebagai balas budi karena dulu kamu pernah bawa aku ke UKS waktu pingsan"lanjutnya.

"Boleh"kata Tian menyetujui.

Jhesy Kimberly, kebahagiaan yang baru saja hadir itu tersenyum. Jhesy keluar dan beberapa saat kemudian kembali dengan membawa sebuah mangkok berisi air yang mengepulkan uap hangat, dan sebuah handuk kecil yang tercelup.

"Dapat dari dapur"kata Jhesy seperti paham dengan pikiran Tian.

"Udah tahu dimana letaknya dapur ternyata?"kekeh Tian.

"Hih, jangan ngeremehin aku ya"bela Jhesy sambil memeras handuk itu. Tian tersenyum menahan tawa, belum berani terlalu membuka mulut karena takut sobekan di bibirnya bertambah besar.

Jhesy sepertinya sudah selesai dengan kegiatan memeras yang agak ia perlambat itu. Tidak ada alasan khusus, Jhesy hanya agak grogi. Ia kemudian mendekatkan handuk itu pada wajah Tian dengan gemetar. Jhesy mengobatinya dengan telaten, dan selama itu Tian terus memandangi wajah Jhesy yang tampak serius dengan kegiatannya.

Sekarang Jhesy beralih ke obat merah. Ia meneteskan beberapa cairan itu ke kapas kemudian menekan-nekannya di atas luka milik Tian.

"Pelan-pelan"kata Tian saat Jhesy tidak sengaja menekan lukanya terlalu kuat.

"Sorry"kata Jhesy, ia kemudian menyudahi acara pengobatan singkat itu.

"Aku gak berani ngasih hansaplast di luka segede itu"pesan Jhesy saat ia membenahi setengah isi dari kotak P3K itu.

"Bisa-bisanya kepala Setya itu ngehasilin luka segede itu"

Tian tertawa. "Thanks ya Jhes"sahutnya dijawab anggukan dari Jhesy.

"Sorry buat yang kemarin, aku bener-bener gak tau kalo kemarin itu cuman akal-akalannya si Nesya"kata Jhesy.

"Tapi jangan gini juga Tian, kenapa kamu tiba-tiba ngejauhin aku? Apa cuman karena itu?"

"Enggak, aku enggak ngejauhin kamu"bantah Tian.

"Terus?"

Tian menghela nafas.

"Camelia kritis"

~To be continued~

Gw gak tau mau ngomong apa lagi, intinya jangan lupa voment yaa!😘

------

*Candak-candakan; permainannya siapa yang kena lemparan bola duluan, dia jadi yang jaga.

Never EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang