4 : Tidak berhak cemburu

8.7K 516 12
                                    

"Aku tidak ingin menduakan Allah, hanya karena hamba-Nya yang tak peduli denganku."
.
.
.

Fanin menarik koper besarnya masuk ke dalam rumah Abidzar, ia pindah rumah sesuai keinginan Mama nya Abidzar dan juga Umi nya. Rumah besar bernuansa hitam putih ini membuatnya tersenyum kagum.

Dengan rasa lelah yang ada, Fanin mendudukkan dirinya di sofa putih yang ada di ruang tamu. Seharian kemarin ia melaksanakan pernikahan hingga larut malam, setelah pulang ia langsung berkemas. Mengantuk, lelah dan lapar berpadu menjadi kesatuan. "Hey! Mau sarapan dulu gak?" Fanin menolehkan kepalanya pada Abidzar yang menghampirinya dengan menyeret satu kopernya.

"Aku simpen koper dulu ya," Fanin berdiri, ia kembali menarik kopernya, baru beberapa langkah, kemudian ia berbalik menghadap Abidzar yang masih menatapnya.

"Kamarnya dimana?" tanyanya.

Abidzar terkekeh pelan, "Makanya tadi tuh tanya dulu. Kamar di lantai dua, yang pintu putih," Afanin jadi malu sendiri, dengan segera ia kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya menuju tangga yang ada di hadapannya. Walau sedikit kesusahan menangkat kedua koper ini, ia tetap berusaha mengangkatnya sendiri tanpa meminta bantuan Abidzar.

Ada 3 pintu diatas, 2 pintu hitam dan 1 pintu putih. Fanin langsung masuk ke kamar yang berpintu putih, sesuai yang Abidzar katakan tadi.

Fanin kagum karena kamar ini. Putih menampilkan kesan cerah dan besar pada ruangan. Padahal ruangan ini cukup minimalis.

Fanin menyimpan kopernya di dekat lemari. Kemudian mendekat pada kasur. Ia membaringkan tubuhnya di kasur, sangat lelah dan mengantuk, tapi perutnya lapar.

Di nakas ia melihat ada photo Abidzar yang sedang duduk bersama Novi yang sedang memegang 1 bucket bunga. Ia mengambil photo itu, tangannya membalikkan bingkai yang berisi poto tersebut. Dibalik bingkainya ada tulisan berwarna pink.

'Selamat ulang tahun Novi, 23 tahun semoga berkah ya, sayang,'

Fanin tersenyum kecil, ia kembali menyimpan poto itu ke tempatnya dan segera beranjak dari kamar. Ketika sudah sampai bawah ia langsung mencari dapur. Rumah yang cukup luas ini cukup membuatnya bingung.

Sesampainya di dapur. Fanin melihat ada Abidzar yang tengah berdiri membelakanginya. "Abidzar?" Abidzar yang merasa dipanggil pun menoleh.

"Apaan?"

"Kamu masak? Sini biar aku aja," kata Fanin mendekat.

Abidzar tersenyum. "Gak usah, gue tau lo cape. Tunggu aja di meja makan, biar gue yang lanjut masak,"

"Gak apa-apa kok. Sini," Fanin mengambil alih pisau yang sedang Abidzar pakai untuk mengiris bawang.

"Ini mau masak nasi goreng, kan?" Abidzar mengangguk, ia mencuci tangannya lalu duduk di kursi yang ada di meja makan. Ia memperhatikan Fanin yang dengan lihai dan cepat memasak nasi goreng.

Abidzar juga sangat lelah, ia seharian kemarin tidak tidur sama sekali, acara pernikahan sampai malam kemarin masih saja ramai karena banyaknya tamu undangan. Nasim dan istrinya tidak langsung pindah, mereka memilih ke hotel terlebih dahulu untuk sekedar istirahat. Sedangkan Abidzar dan Fanin langsung siap-siap dan bergegas pindah. Walau hanya membawa dua koper. Tapi waktu perjalanan dari rumah Fanin kerumah Abidzar cukup jauh dan memakan waktu yang cukup banyak.

RECONDITE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang