PROLOG

1.7K 57 7
                                    


Bali, Agustus 2011

Sebuah pesawat baru saja take-off dan melesat di atas parkiran mobil bandara internasional Bali. Hari cukup cerah, langit terlihat megah dengan warna kebesarannya, biru. Awan juga ikut menjadi aksesori yang membuat langit semakin indah.

Mobil sedan hitam berhenti di depan terminal keberangkatan bandara, tepat ketika pesawat lewat di atasnya. Seorang sopir bergegas turun, membuka pintu sheet belakang. Gadis 18 tahun yang memakai mini dress, jaket bulu, sepatu boots senada dengan bajunya, dan kupluk di kepala, keluar dari pintu mobil lalu berjalan ke belakang mobil mengikuti sopir untuk mengambil koper di bagasi.

Tak lama mama dan papanya keluar dari mobil yang sama. Mamanya membantu membawa barang bawaan, sedangkan papanya menunggu di samping mobil.

"Tiketnya sudah kamu pegang, Senja?" Tanya mama sambil membantu Senja mengeluarkan koper.

"Sudah, Ma."

Tiket pesawat dengan tujuan Narita–Jepang itu telah berada dalam genggaman Senja, gadis berperawakan tinggi dan kulit kuning langsat. Perjalanannya ke Jepang adalah perjalanan yang sangat ia nanti-nanti. Baginya, melanjutkan pendidikan ke Jepang adalah impiannya sekaligus keluarganya.

Meski ada sopir yang membantunya membawakan barang-barang, namun Senja bukan tipe gadis manja yang segala sesuatunya harus dilayani. Ia lebih senang melakukannya sendiri, selagi bisa dikerjakan sendiri.

Senja menarik gagang koper, dan bersiap masuk ke dalam terminal keberangkatan bandara. Tak berselang lama, dari kejauhan tampak seorang pria berperawakan seperti polisi datang mendekat. Haris, pria yang kini sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan Senja langsung menyapa papa Senja dan menyalaminya, tak lupa juga mama dan Senja. Dengan sigap Haris membantu Senja membawakan koper.

***

Area luar bandara penuh dengan penumpang beserta kerabatnya yang mengantar, petugas bandara, porter, hingga bagian keamanan. Di antara kerumunan orang-orang, terlihat seorang pria berkulit putih, kurus, dan berambut ikal, lari terburu-buru, seolah sedang mengejar sesuatu.

Fajar melihat sekeliling, berusaha menemukan apa yang dicarinya. Dilewatinya orang-orang yang menunggu dan berjalan di area luar bandara, ia masih terus mencari. Akhirnya Fajar berhenti tepat di bagian informasi.

"Penerbangan ke Jepang di mana ya, Pak?" Tanya Fajar pada petugas bandara dengan napas terengah-engah.

Petugas informasi menunjukkan arah menuju tempat itu pada Fajar. Fajar berlari lagi, paling tidak langkahnya menuju arah yang sudah pasti.

***

Papa Senja dan Haris tengah berbincang di lobi bandara. Sementara itu, Senja dan mamanya tengah mengantre di bagian check-in.

Dari luar lobi, Fajar masih berlari, bergegas memasuki area lobi. Sesaat kemudian pintu otomatis terbuka saat Fajar tepat berada satu setengah meter di depan pintu. Fajar memasuki area lobi dengan tingkahnya yang masih mencari-cari keberadaan seseorang. Lima meter tepat di depan Fajar berdiri, ia akhirnya menemukan seseorang yang dicarinya. Ia melihat Senja dan mamanya sedang berjalan menghampiri dua pria yang saat ini membelakangi Fajar. Setelah itu, mereka berjalan menuju ruang tunggu keberangkatan.

Fajar kembali berlari, berusaha mengejar Senja yang kini tengah berjalan menuju ruang tunggu keberangkatan sembari memasukkan boarding pass ke dalam tas ransel berukuran kecil.

"Senja!"

Orang tua Senja menoleh dan menghentikan langkahnya, sementara Haris hanya melirik lalu melanjutkan langkahnya bersama Senja yang terlihat menarik napas dalam-dalam tanpa melirik ke arah Fajar. Senja mengenal suara itu, suara orang yang tak mungkin ia lupakan. Namun Senja terlanjur terluka olehnya, ia sudah tidak peduli dengan pemilik suara itu, baginya semua telah berakhir.

Fajar mempercepat langkahnya, menyapa orang tua Senja ketika berpapasan dan menyusul Senja yang masih melangkah tak acuh.

Fajar berusaha mengimbangi gerak langkah Senja ketika berada di samping nya. Napas Fajar tak beraturan, keringat bercucuran di keningnya.

"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu," katanya.

Senja masih terus berjalan, tidak menghiraukan keberadaannya. Sementara Fajar terus berusaha mengimbangi gerak langkah Senja yang makin cepat.

"Aku mau minta maaf." Nada bicara Fajar begitu lirih, seperti ada harapan agar Senja dapat memaafkannya.

Senja berusaha tak acuh dengan omongan Fajar. Ia malah makin mempercepat langkahnya. Baginya, ucapan Fajar sudah tidak penting lagi. Ia menganggap semuanya telah usai. Tidak ada lagi Fajar dalam hidupnya.

"Ja, aku tahu kamu marah." Fajar masih berusaha mengajaknya bicara. Namun Senja tetap tak acuh, tak sedikit pun merespons perkataannya.

"Senja, aku minta maaf." Kesekian kalinya kata ini diucapkan Fajar. Suaranya begitu lirih, berharap penyesalannya diterima.

Namun Senja terus menatap ke depan, ia menambah kecepatan langkahnya. Fajar menyadari jika Senja tidak ingin menemuinya, Fajar melirik ke arah Senja dengan penuh sesal. Fajar menghentikan langkahnya, matanya yang dirundung kecewa pada dirinya sendiri menatapi punggung gadis yang sudah ia lukai itu, ia membiarkan Senja dan Haris berlalu dari sisinya.

Senja dan Haris pun menjauh, menaiki eskalator menuju lantai atas. Sebelum sampai di ujung eskalator, Senja menoleh ke belakang. Dilihatnya Fajar tengah menunduk sambil memegang lutut, terlihat kecapekan. Orang tua Senja menghampiri Fajar, menanyakan keadaannya. Fajar menggeleng, dan berkata baik-baik saja. Lalu orang tua Senja kembali berjalan menyusulnya.

***

Semburat jingga membentang di udara, awan putih seperti tersepuh emas. Biru langit luntur menjadi oranye, dan sebagian di ujungnya telah menghitam. Pesawat terbang dengan mulus. Dari jendela pesawat, Senja tengah termenung menatap keluar.

Dalam pesawat tujuan Jepang itu, Haris duduk di samping Senja. Haris melirik ke arahnya, terlihat punggung Senja dan bayangan wajahnya dari jendela pesawat. Senja hanya terdiam, memandang kosong ke luar jendela dengan wajah sendu.

Sebagai lelaki yang kini menjadi belahan hati Senja, Haris tidak bisa melihat kekasihnya murung seperti itu. Ia tahu betul hal yang membuat kekasihnya jadi seperti itu. Haris sudah mengenal Fajar dari cerita Senja selama ini. Inilah tujuan kehadirannya, agar Senja tidak terus bersedih atas masalahnya dengan Fajar.

Tak lama, Haris menyodorkan botol air mineral ke arahnya. Senja melirik, Haris pun tersenyum manis sambil berusaha menawarkan air minum. Senja hanya bisa menggeleng. Entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika mengacuhkan Fajar di bandara tadi. Sebenci apa pun ia pada Fajar, ia tidak bisa berdusta bahwa Fajar adalah orang yang pernah sangat berarti dalam hidupnya.

Senja kembali menatap jendela dengan perasaan tidak enak. Awan seolah membentuk gulungan ombak di laut, menerpa awan lainnya yang berdiri tegak, seperti ombak menghantam tebing batu. Awan itu, seolah menyalakan proyektor ingatan Senja pada masa lalunya.

***

Fajar & Senja (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang