Bali, Maret 2011
Angin berembus lembut, awan menggantung di langit, membuat keadaan menjadi teduh dan sejuk. Di jalan perbukitan, Fajar berhenti mengayuh sepeda, Senja yang duduk di belakang bertanya-tanya.
"Jar, ke mana ini?"
"Ikut aku yuk!" Fajar tak menjawab pertanyaan Senja. Ada sebuah kejutan yang hendak diberikan untuk gadis cantik itu.
Senja bertanya dalam hati, kemudian turun dari sepeda, diikuti oleh Fajar. Perjalanan barusan tidak mudah untuk dilaluinya. Jalan setapak terjal, naik-turun bukit berkali-kali, serta masuk hutan jati yang sangat gelap. Membuat Senja cukup kelelahan. Senja bukan tipe wanita petualang, kalaupun mau menjelajah, ia harus melakukan persiapan yang matang. Apalagi harus memakai seragam SMA seperti saat ini.
Namun Senja tidak dapat menolaknya. Ajakan Fajar selalu berhasil membuat dirinya siap melakukan apapun. Mengenal Fajar sebagai tetangganya, kemudian teman sekolahnya, sekaligus menjadi sahabatnya, telah membuat hari-hari dalam hidupnya terasa berbeda.
Fajar memang bukan tipe pria alim, ia tidak pintar, juga tidak rajin. Di sekolah, Fajar tergolong siswa genit yang sering menggoda cewek, anak yang suka ngeyel, dan tidak pernah serius dalam segala urusan. Namun itu dua tahun lalu. Saat ini, Fajar seolah mendapat hidayah. Tepatnya ketika ia mendapatkan tugas untuk mewakili sekolah dalam ajang kompetisi karya ilmiah siswa.
Meski banyak memiliki sifat buruk. Namun Fajar tergolong siswa yang senang bereksperimen, hingga karya ilmiahnya terpilih untuk mewakili sekolah dalam perlombaan antar provinsi.
Saat itu Fajar tergabung dalam kelompok yang terdiri atas dirinya, Senja, Kiki, dan Mori. Karena sering berdiskusi mengenai persiapan lomba bersama ketiga rekannya tersebut, Fajar tertular sikap baik, rajin, dan pandai yang dimiliki ketiga rekannya. Akhirnya anggota kelompok itu menjadi dekat, akrab, dan kini mereka resmi bersahabat.
Banyak anggapan miring mengenai Fajar yang sering bersama Senja, Kiki, dan Mori. Menurut kebanyakan orang, Fajar sengaja mendekati ketiga gadis cantik itu hanya untuk melampiaskan sifat genitnya. Namun anggapan itu tidak pernah digubris oleh mereka. Mereka tetap nyaman bersahabat, tanpa ada paksaan sedikit pun.
Pada jalan setapak di perbukitan itu, Fajar berjalan sambil menuntun sepeda. Senja mengekor di belakangnya. Mereka berjalan di sepanjang jalan setapak menuju puncak bukit.
Bukit itu melandai bagai ombak di tengah lautan, dialasi rumput-rumput hijau dan dihiasi ilalang yang menari seirama dengan embusan angin. Fajar tiba di atas bukit, seketika angin berembus menyapa wajahnya. Fajar menarik napas dalam-dalam, sejuk, dan bebas.
Senja yang berada di belakangnya, menyusul Fajar yang sudah menikmati kedamaian di puncak bukit. Sesaat kemudian, angin kembali berembus, menerpa wajah Senja, menyibakkan rambutnya yang terurai.
Senja melihat sebuah laut membentang luas dengan hamparan air jernih memantulkan warna langit, bayang-bayang matahari memantul di atas riak permukaan air, seperti ribuan permata diterpa cahaya. Benar-benar indah. Senja terpesona, terlebih pada hijaunya rumput di tebing bukit yang memancarkan kesejukan. Membuat hati Senja menjadi damai.
Di bukit itu pun tumbuh beberapa pohon dengan ranting yang kokoh serta daun-daunnya yang berlenggok diterpa angin. Senja terdiam, takjub dengan apa yang dilihatnya.
Ombak mengantarkan air bergerak ke dinding tebing, tersapu angin. Senja berdiri di bawah sebuah pohon besar di atas bukit, tepat di sampingnya terdapat sebuah pohon tumbang yang lebih menyerupai tempat duduk. Senja memutuskan untuk duduk di pohon tumbang itu. Sementara Fajar memarkirkan sepeda, langkahnya mendekati Senja dan ikut duduk di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fajar & Senja (End)
Teen FictionAku berusaha untuk tidak menghitung waktu, karena kutahu engkau akan pergi. Namun waktu selalu berjalan sendiri, hingga kini kau benar-benar lepas dari genggamanku. Sesakit apapun kehilanganmu, aku tidak mau waktu terulang kembali, karena sulit b...