PERPISAHAN TERPAHIT

285 10 12
                                    



Juni 2011

Satu dua buah batu kecil dilemparkan ke bawah tebing, tercebur ke air laut, tenggelam, lalu menuju dasar laut. Angin berembus lebih kencang dari biasanya, telihat awan tebal di ujung sana mulai mendekat.

Senja duduk di atas ayunan yang menggantung di pohon besar. Sebuah ukiran berbentuk kupu-kupu menggantung di tas gendongnya. Kali ini ia sendirian di sana. Mata Senja menatap ke laut lepas. Tanpa gerakan lain. Pandangannya kosong. Ia hanya duduk dan mengayun di atas ayunan yang dulu dibuatkan oleh Fajar untuknya.

Otaknya memutar kenangan bersama Fajar di sini. Memori membahagiakan mendatanginya saat ini, tentang ia yang berhasil mengatasi fobianya terhadap kecapatan, tentang ia yang meluncur bersama Fajar di atas ayunan, dan Fajar memeluknya, menguatkan dirinya yang hendak jatuh karena takut kecepatan, semua tergambar nyata dalam proyektor ingatan Senja.

Ingatan yang bertamasya pun akhirnya mengajak air mata yang tersimpan kini menitik di ujung matanya. Membayangkan semua keindahan yang sangat nyaman dirasakannya membuat bulir-bulir air matanya mulai berjatuhan. Bersama Fajar, ia selalu merasakan semuanya terasa berbeda.

Namun kini, Fajar telah berubah. Pria yang dicintainya itu tidak sama seperti Fajar yang dulu. Fajar telah menghilang, bahkan pembicaraan mereka yang terakhir di telepon waktu itu Fajar malah membentaknya, dan menganggap dirinya terlalu ikut campur dalam urusan Fajar.

Saat melempar lagi bebatuan ke tengah laut, Senja merasa ada langkah kaki yang datang mendekatinya. Dengan aroma tubuh yang sangat ia kenal, Senja tahu jika yang datang adalah Fajar.

Fajar hanya berdiri beberapa langkah di belakang Senja. Ia tak bersuara. Tak pula menyapa. Fajar tahu kesalahannya, dua minggu lalu ia telah memberikan kabar yang mendadak untuk pergi menemui ibunya di Karawang, dan ia pun telah berkata kasar ketika Senja bertanya alasannya sehingga harus pergi.

Fajar tak bisa memberikan alasan, karena sebenarnya ia tidak pernah pergi menemui ibunya di Karawang. Fajar hanya berbohong untuk menutupi penyakitnya agar tidak diketahui oleh Senja.

Keduanya hanya membisu dalam waktu yang cukup lama.

Beberapa menit berlalu, angin bertiup semakin kencang, menggugurkan dedaunan dan menerbangkan rumput-rumput kering di atas tanah. Mereka masih terdiam, mematung dan berlumut dalam kebisuan.

Angin kencang kembali bertiup. Senja menyeka dahinya, membenarkan rambutnya yang tertiup angin. Ia tampak akan membuka pembicaraan. Ada keraguan yang terlihat, tapi ia ingin sekali mengatakan sesuatu.

"Ngapain kamu ke sini?!" Akhirnya Senja memberanikan diri memulai pembicaraan dengan suara yang tampak sinis.

"Saya mau menjelaskan sesuatu." Fajar mendekat dua langkah di belakang Senja.

"Menjelaskan semua janji yang akan kamu ingkari?" Senja menarik napas dalam-dalam sambil menahan sesak yang mengganjal di dadanya. Ia sungguh kesal dengan Fajar, dengan mudahnya Fajar mengundurkan diri dari program pemagangan ke Jepang. Padahal Fajar sudah berjanji kepada Senja, akan menemaninya di Jepang.

"Saya tidak bisa memaksakan hal yang tidak terlalu saya inginkan."

Senja hanya bisa menatap ke tengah laut. "Tidak diinginkan, katanya," batin Senja merintih. Mendengar ucapan itu, Senja semakin merasa sesak. "Jadi, janji yang telah kamu ucapkan hanya bualan dan omong kosong semata?"

Dada Senja semakin terasa sesak. Dulu Fajar sempat mengatakan jika ia siap pergi bersamanya mencapai cita-cita dan keinginan bersama. Melaksanakan magang kerja di sana, mendapatkan uang dari pemagangan untuk membantu perekonomian keluarganya. Tapi sekarang Fajar dengan mudahnya membatalkan hal itu. Senja merasa saat ini hatinya sedang dilucuti pisau tajam.

Fajar & Senja (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang