Braaakk!!!
Tubuh kurus itu membentur meja dan kursi di belakangnya. Dua remaja perempuan menyeringai puas melihat laki-laki itu meringis kesakitan.
"Dasar anak ngga berguna! Kenapa lo harus lahir, sih?!" ujar salah satu perempuan bernama Seren.
Seren menghampiri anak laki-laki berambut coklat dan menarik kerah bajunya. "Jangan mimpi lo bakal diterima di keluarga ini. Lo itu sampah, sama seperti laki-laki yang udah bikin mama ngelahirin lo."
Si rambut coklat hanya meringis menahan sakit di lehernya. Ia tak bisa menyangkal, karena yang diucapkan kakaknya adalah fakta. Di dalam tubuhnya mengalir darah yang berbeda dengan dua perempuan itu.
Seorang perempuan berambut ikal hanya terdiam di dekat pintu. Apakah ia membela laki-laki itu? Tentu saja tidak. Ia hanya tidak ingin mengotori tangan halusnya, biarlah Seren yang melampiaskan amarah. Toh tujuan mereka sama, menghancurkan hidup laki-laki tak berdosa itu.
Sarah, yang sedari tadi terdiam melangkah mendekati Seren yang semakin brutal. Merasa tangannya dicekal, Seren menoleh.
"Kak?" Sarah memberinya isyarat lewat tatapan mata, namun dahi Seren mengerut tidak mengerti.
Sarah merutuki kebodohan adik perempuannya itu. "Kalau dia mati, kamu akan masuk penjara. Lebih baik kita tinggalkan dia." Sarah berujar dingin dan melangkah pergi. Seren mengikuti kakaknya setelah sebelumnya perut laki-laki yang sejak tadi meringis kesakitan.
Setelah kakaknya pergi, Senja, laki-laki itu meluruhkan tubuhnya ke lantai. Ini bukan yang pertama, entah sudah berapa kali kakak perempuannya membuat dia terkapar seperti ini. Banyak orang di rumah ini, tapi tak satu pun berani menolong Senja. Orang tuanya? Jangan ditanya. Mereka juga tidak peduli.
Senja masih ingat kata-kata yang dilontarkan mamanya saat pertama kali dirinya mencoba keluar dari rumah.
"Dari mana kamu?! Siapa yang mengizinkan kamu keluar dari rumah ini?! Kamu itu aib, Senja. Kamu bukan bagian dari keluarga ini. Harusnya aku biarkan kamu mati dari dulu. Aku menyesal sudah melahirkanmu!"
Bolehkah ia mati sekarang? Apakah Tuhan memberinya hidup hanya untuk dicaci? Pertanyaan itu berputar di kepala senja, seiring pandangannya yang terus meredup. Senja hanya berharap, semoga ada manusia yang berbaik hati menolongnya atau Tuhan mencabut nyawanya.