Senja

146 3 0
                                    

Senja memandangi pantulan dirinya pada cermin itu. Beberapa luka lebam nampak di perut, dada dan juga lengannya. Senja tersenyum miris, mengingat perkataan kakaknya. Kalau boleh memilih, ia ingin lahir sebagai bagian dari keluarga ini. Namun nyatanya, orang yang membuat Senja ada di dunia ini adalah seorang bajingan yang ia sendiri tak tahu bagaimana wajahnya.

"Den, Aden?" Suara Mbok Nah, asisten rumah tangga keluarga Aditya memecah lamunan Senja. Dengan tergesa-gesa, ia mengancingkan baju dan membuka pintu kamar.

"Ini sarapannya, Den," Mbok Nah mengulurkan sebuah nampan berisi sepiring nasi goreng dan segelas susu coklat.

Senja memandangi Mbok Nah dan nampan bergantian.
"Mbok, Mama tahu?" tanyanya.

"Nyonya belum bangun, Den. Yang lain juga," jawab wanita 50 tahunan itu. "Aden makan dulu, ya. Jangan makan di luar terus," lanjutnya.

Senja mengambil nampan dengan ragu-ragu. Ia memandangi makanan kesukaannya sejenak sebelum mengucapkan terima kasih.

"Mbok, lain kali jangan bawain makanan buat Senja. Aku nggak mau Mbok Nah dipecat. Cuma Mbok yang mau peduli sama aku."

Mbok Nah memandangi anak majikannya dengan mata berkaca-kaca. Baginya, senja adalah anak yamg kuat. Entah sudah berapa banyak caci dan maki yang ia dapatkan sampai dirinya sebesar ini. Dengan terpaksa, Mbok Nah mengangguk dan meninggalkan Senja yang masih termangu di depan pintu kamarnya.

                               ****
Gerbang sekolah telah tertutup rapat saat laki-laki itu sampai. Senja terduduk di depan gerbang dengan napas satu-satu. Pak Broto, satpam sekolah itu hanya menggelengkan kepala. Pasalnya bukan hanya sekali dua kali Senja telat seperti ini, mungkin buku hitam anak itu hampir penuh dengan catatan keterlambatan.

"Ja, nggak bosen kamu telat terus? Bapak sampai bosan lihat mukamu di depan gerbang." Senja meringis mendengar ucapan Pak Broto yang memang dikenal ceplas-ceplos.

"Saya mampir ke apotek dulu, Pak," jawabnya pelan. Perutnya memang mengalami kontraksi saat hendak berangkat. Mungkin efek nasi goreng Mbok Nah yang lebih pedas dari biasanya.

"Kasihan orang tuamu. Mengeluarkan banyak uang supaya kamu bisa sekolah, tapi kamu kerjanya cuma bikin ulah." Pak Broto berkata sarkas.

Senja hanya menunduk, menahan emosi yang mulai menguasai dirinya. Ini masih pagi, dan satpam bertubuh gempal itu sudah membuat moodnya hancur karena membahas orang tuanya.

"Mereka nggak akan peduli. Jangankan terlambat sekolah, aku mati pun mungkin mereka akan tertawa," batin laki-laki 17 tahun itu.

Senja kehilangan keinginannya untuk sekolah. Anak itu berdiri, melangkah perlahan menjauhi gerbang. Suara Pak Broto yang sayup-sayup memanggil namanya ia hiraukan. Matanya yang memandang lurus ke depan nampak merah, menahan air mata dan gejolak emosi yang memaksa untuk keluar.

Langkah kaki jenjang itu mengantarkan Senja ke sebuah taman. Ia duduk di atas rerumputan, bersandar pada sebuah bangku dan menekuk lututnya. Bahu ringkihnya bergetar, Senja menangis. Bayangan masa lalu melintas tiada henti di dalam kepalanya. Kembali menjatuhkan Senja, membuat dirinya merasa tak berguna sebagai manusia.
                            ****

SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang