Perubahan

76 7 0
                                    

Sepasang matanya berkilatan bak bintang kecil-kecil yang kalah panggung dengan purnama malam ini. Langit lapang sekali semenjak kemarau datang dan serabut awan sudah luruh semua menjadi hujan. Mungkin karena itu juga udara terasa hangat, meskipun satu-satunya yang konstan bertiup ke arahku hanya suaranya. Tawa orang-orang terus bermekaran di sekitar kami, salam rindu semerbak ditukar, dan senyumnya yang bersikeras mengikatku pada momen ini justru terasa makin asing.

Aku tak mengenal lagi tempat ini, orang-orang ini. Aku tak kenal lagi dengannya.

Perkara remeh seputar hidupku banyak ia tanyakan, seolah ia ingin mengulang lagi dongeng basi itu dari awal. Seakan ada yang takut ia lewatkan. Seakan dia perlu mempelajariku lagi dari awal. Sayangnya, aku sebatas kursi usang di haltes bus depan sekolah. Tak ada yang berubah dariku, hanya fakta bahwa halte bus makin ditinggalkan---sudah tak seramai dulu. Jadi kenapa sekarang dia bertingkah seolah kami ini sahabat karib? Kenapa dia harus duduk dan berminat pada suaraku? Aku pun tak mengerti kenapa aku tak bisa berhenti mempertanyakan kenapa, seperti kenapa aku tak menyerah saja dan menyambut kehangatannya. Yang aku rasakan bahwa keberadaanku kini berkarat. Mulutku rasanya getir setiap kali membalas senyumnya, merespons tawanya, menerima antusiasmenya.

Pada saat seperti ini, aku justru mencari-cari senyum canggungnya. Aku tak bisa berhenti mengingat bagaimana dulu kepalanya selalu gelisah mencari arah yang pas untuk menetapkan pandangan, kata-kata lirih selalu tangkas mengakhiri obrolan apa saja yang berusaha melibatkannya. Ah, dua tahun ternyata cukup untuk membuatnya bersinar. Dua tahun... dan seketika semuanya menjelma jadi sosok yang sama sekali lain. Dua tahun yang sama, kuhabiskan sia-sia.

ENAM BELASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang