Aku menggeleng, setampan apapun pria ini, aku tetap tidak mengenalnya. Dan lebih parahnya lagi, ia menguntitku selama hampir sepekan. Bagaimana bisa dengan santainya mengajakku menghabiskan waktu istirahat bersama?
"Yaaa, kalau tidak berkenan, jangan salahkan jika saya kembali mengikuti kemana kamu berjalan." Godanya sambil mengangkat gelas kopinya dan tersenyum kecil.
Aku bertanya akan niatnya, namun ia masih dengan ajakannya, seakan memaksa dan mengancam ketenangan hidupku dengan sikapnya. Aku mengiyakan, hingga akhirnya kami tiba di kantin dan duduk berhadapan ditemani jus manggaku dan pesanan bakso mie kuning Mandala yang entah mengapa terlihat amat menggoda.
Aku menelan air liurku sendiri, dan mencoba mengabaikan aroma nikmat bakso bulat itu dengan penuh perjuangan. Tak lama Mandala menatapku sambil tertawa kecil.
"Jadi?" mulaiku.
"Hmmm?" jawab Mandala sambil menarik mi kuning hingga membuat cipratan kecil dari kuah bakso yang ia makan.
Aku terdiam sejenak, menunggunya usai menghancurkan mi dan bakso dalam mulutnya. Aku membuang nafas panjang, menandakan bahwa aku tengah merasa tidak nyaman.
"Kamu cantik, tapi kurang tinggi," ucapnya sambil menambahkan kecap manis ke dalam mangkuknya.
Tanpa sadar aku membuka mulutku cukup lebar, bagaimana tidak? Pria yang sedikit tampan ini tengah memuji sekaligus menjatuhkanku dengan caranya yang kekanak-kanakan. Baru saja aku menarik nafas untuk menegurnya, ia kembali dengan omongannya yang lain.
"Pernah ingat kata-kata itu?"
Mandala meletakkan sendok dan garpunya, kemudian berpangku tangan sambil memandangku, seakan menungguku untuk segera berfikir atas pertanyaannya. Dan benar saja, pernyataan itu adalah pernyataan dari seorang anak lelaki usia 12 tahun yang baru 2 hari pindah di depan rumahku dulu.
"Sudah ingat?"
Aku terkejut bukan main, pria yang kini tengah menggulungkan lengan kemejanya adalah anak lelaki usia 12 tahun yang menyebalkan. Seorang anak lelaki yang gengsinya bukan main, menolak permainan petak umpet bersama anak-anak yang tinggal di perumahan tersebut, 10 tahun lalu.
"Mandala? Apa kabar?" tanyaku yang segera tersenyum seakan lupa ingatan akan ketakutan bahwa ia adalah penguntit.
***
Lembayung senja memayungi kota. Anak-anak itu baru saja selesai mandi sore dengan wajah yang dipenuhi bedak tabur yang tidak merata pada wajah. Anak perempuan dengan gaun jingga selutut itu siap bergabung untuk bermain sambil menunggu magrib tiba.
"Kakakmu gak main Ki?"
Kiki menggeleng dan menarik lengan anak perempuan tersebut untuk segera mencari tempat persembunyian. Dari jauh, anak perempuan bernama Sore itu memandang seorang anak lelaki yang seakan tengah mengintip dibalik pagar yang cukup tinggi.
"Dia gak mau main, tapi kenapa ngintip?"
"Ka Mandala memang begitu, gengsi. Padahal sama aku hanya beda setahun. Berlagak sudah besar terus."
Sore tertawa kecil, sampai akhirnya mata mereka bertemu. Sore tersenyum kepada tetangga barunya tersebut yang sama sekali belum jumpa secara langsung. Namun, Mandala malah berlari dari tempatnya mengintip, kemudian menutup pintu rumahnya dengan cukup keras.
"Kemarin ka Mandala bilang, kalau kamu cantik," bisik Kiki.
"Tapi kurang tinggi,"
Menyadari hal itu, Sore memudarkan senyumnya. Memandang kesal ke arah rumah Kiki dan Mandala. Sore tak habis fikir, bertemu secara langsung pun belum, bagaimana bisa anak lelaki sombong itu berbicara hal yang tidak enak, meski dengan awal memuji?
"Bilang kakakmu, aku gak mau berteman dengan dia. Aku mau berteman sama adiknya saja!" kesal Sore yang menggenggam tangan Kiki sambil bersembnunyi.
Kiki tersenyum dan berjanji akan menyampaikannya kepada Mandala usai pulang nanti. Namun, bahagia Kiki terhenti disana, pagi menjelang, Sore yang cantik itu pergi, menyisakan rumah dengan tulisan 'Dikontrakkan' tanpa pamit sama sekali.
***
Aku tak henti tersenyum usai kembali dari kantin bersama Mandala. Pria itu, wajar saja jika aku tidak mengenalinya dengan baik, nyatanya hingga aku pindah rumah pun, ia tak menampakkan wajahnya dengan utuh untuk sekedar diingat.
"Kiki nangis kamu pindah,"
Mandala tertawa sambil sesekali menirukan hari dimana ketika Kiki menangis sambil terduduk di depan rumahku yang sudah tak berpenghuni. Aku jadi merasa bersalah, dan semoga saja ada waktu untuk sekedar meminta maaf.
"Tapi kamu kok ngeh sama wajahku?" tanyaku heran.
"Entah, aku rasa memang gak ada yang berubah dengan wajahmu yang dulu dan sekarang, bedanya, rambutmu sedikit lebih panjang dan kecoklatan," jawab Mandala sembari memerhatikanku dengan tatapan bak juri yang tengah menilai talenta peserta.
Aku menyindirnya dengan mengatakan aku sudah lebih tinggi dari sebelumnya. Namun Mandala tertawa geli, kemudian mendekatkan jaraknya ke arahku kemudian menyamakan tinggi badanku yang hanya setara dengan ketiaknya.
"Fase pertumbuhanku normal, fase pertumbuhanmu saja yang terlalu cepat," belaku sembari menekan angka 3 dan menyaksikan Mandala yang berlari mengejar pintu lift yang hampir saja tertutup rapat.
Aku tidak menyangka, Mandala tumbuh dengan baik. Dan yang lebih tidak kusangka, dia tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan nan menawan. Matanya yang besar, hidungnya yang mancung, bibirnya yang penuh, hingga rahangnya yang kuat, membuat fikiranku dengan bebas melukisnya dengan indah.
Anak lelaki itu terlalu sombong menolak ajakan bermain petak umpet, tapi kini, ia bahkan terlalu ramah untuk berada di dekatku.
YOU ARE READING
Senjaku Ada Dua
General FictionKenal senja? Itu, langit jingga yang hangat namun terkadang menyedihkan. Langit yang berkunjung dan memamerkan keindahannya kepada para makhluk bumi untuk dinikmatinya secara cuma-cuma. Setelah membuat kami selaku penghuni bumi nyaman, senja kemudia...