Hari itu sore yang cerah, sayangnya senja belum datang, tapi aku sudah merasa cantik setelah mandi sore dan berkaca sambil menggunakan bedak bayi yang selalu Mama belikan dalam ukuran besar, ada 3 warna pilihan, biru, merah jambu dan kuning. Dan aku suka sekali yang merah jambu.
Belum memasuki jadwal bermain sore, sahabatku bernama Nei datang sambil menutup rapat pintu masuk rumahku. Disana juga ada sepupu sekaligus tetanggaku, Nasya namanya. Nei mengajak kita berbincang sebentar, dan akhirnya Nei mengejutkanku sekaligus membuatku tertawa.
"Mandala, kemarin sore dia main sama kakakku di rumah. Dia bilang kalau dia suka sama Sore. Sore cantik tapi kurang tinggi,"
Itulah bentuk kalimat utuh yang Mandala ucapkan 10 tahun yang lalu. Saat pertama bertemu Mandala lagi, aku tidak mungkin kan bertanya hal tersebut? Lagi pula itu hanya perasaan yang lahir sejak masa kanak-kanak, dan aku yakin sekarang sudah berbeda. Meski aku harap, perasaan itu bisa tumbuh lebih baik di hati Mandala.
Tapi bagaimana bisa anak lelaki itu mengatakan hal serupa kepada orang lain selain adiknya? Menyebalkan! Mengapa tidak sekalian ia membuka jumpa pers dan mengatakan hal tersebut agar semesta tau aku cantik, tapi kurang tinggi!
"Tapi, bukannya Mandala pacaran sama ka Visya?" selak Nasya.
Aku mengangguk setuju, sambil sesekali mengontrol hati yang merasa kesal dibilang kurang tinggi oleh anak lelaki yang bahkan belum pernah berbincang dengannya barang sekejap. Nei bilang tidak tau, dia hanya memberikan bocoran cerita itu dari percakapan kakaknya dan Mandala sore kemarin.
Sejak hari itu, kabar burung anak-anak 12 tahun itu merambat sampai ke telinga Visya. Visya yang awalnya sangat baik denganku, berubah pesat, ia bahkan tidak sudi menemuiku. Aku bilang ke yang lain, itu bukan masalah besar, aku tidak menyukai Mandala, Mandala yang menyukaiku, kenapa dia harus marah padaku?
Nasya dan Nei setuju sambil mengangguk, sesekali mereka datang untuk membujuk Visya agar tidak marah denganku. Namun gagal, Visya yang keras kepala memutuskan untuk tidak pernah keluar rumah hingga aku pergi dan mendapat rumah baru di tempat yang berbeda.
Lucu, tapi itulah masa kanak-kanakku yang amat kekanak-kanakan. Aku yakin, jika suatu hari aku bertemu Visya, kita akan tertawa terbahak-bahak jika menceritakan kejadian hari itu di hari ini. Sungguh memalukan bukan? Hanya karena Mandala, hubunganku dengan Visya redup seketika.
Tak terasa senja mulai datang seakan mengetuk kaca yang membelakangi meja kerja Mandala. Senja hari ini seakan diperingatkan Mandala untuk mengingatkanku segera pulang, cahayanya lebih tajam dari biasanya, sehingga membuyarkan pekerjaanku yang tinggal 5% selesai.
"Baik baik aku menyerah, aku pulang!" keluhku tersenyum memandang senja sambil merapikan beberapa berkas yang memenuhi meja kerjaku.
Langkahku terhenti dihadapan senja yang memisahkanku dengan kaca. Aku bilang pada senja, untuk menyampaikan kepada temannya, si senja kedua, untuk bisa memperlakukan perasaanku dengan baik. Aku benar-benar tidak siap, jika suatu hari nanti, kenyataan menunjukkan ia hanya bermain-main. Aku tidak siap merancang tulisan agar aku bisa memakinya, karena ia terlalu hangat, karena ia terlanjur membuatku nyaman. Jika tiba marahku, aku yakin hati dan fikiranku akan berkelahi hebat.
Senja mulai berjalan turun, menyadari itu, aku kembali melangkah dan segera bersiap untuk meninggalkan ruang kerja yang hari ini terasa begitu kelabu. Semesta, bilang pada senja keduaku, bahwa Sore tengah tersiksa rindu.
Belum berakhir, malam ini aku bertemu sosok pria idaman wanita di depan gedung tempatku bekerja. Pria yang kulihat beberapa hari lalu dan 10 tahun yang lalu. Kiki, dia berdiri sambil melambaikan tangan kekarnya dan berlari kecil menghampiriku.
"Kiki?" tebakku sambil tersenyum membalas lambaian tangannya.
Kiki mengaku bahwa ia baru saja lewat setelah meliput di suatu tempat yang tidak jauh dari tempatku bekerja. Kemudian ia melihat bayanganku berdiri di depan kaca lantai 3 dan memutuskan untuk menungguku keluar dari gedung.
Aku tertawa kecil menahan malu, sebegitunya aku menyaksikan senja sampai tidak menyadari bahwa Kiki berdiri disana dan berusaha melambaikan tangan memberi tahu keberadaannya, namun gagal karena fokusku dengan senja.
"Sudah mau pulang? Bareng yuk!"
Aku seakan berfikir sejenak, namun Kiki menunjukkan wajah memohon agar aku berkenan ikut pulang bersamanya. Tentu saja tidak kutolak, selain senang karena dia adalah Kiki, aku jadi bisa menghemat ongkos pulangku.
"Tapi aku mau makan dulu," aku mengangguk dan ikut bersuara untuk makan malam terlebih dahulu sebelum sampai rumah. Kiki terlihat senang.
Kiki berlari kecil dan membukakan pintu mobil model Hatchback-nya itu untukku. Manis sekali, tidak terasa ia sekarang tumbuh cepat, rasanya seperti bukan seorang pria yang memiliki umur setahun dibawahku.
Malam itu Kiki mengajakku ke tempat makan kesukaannya. Tempatnya lebih seperti café, sangat menggambarkan karakter Kiki yang supel dan santai. Disana tersedia makanan tradisional, jadi tidak perlu khawatir hanya ada kentang goreng atau burger dalam daftar menu.
Kiki memilih bebek penyet serta minuman milkshake coklat, dan aku memilih nasi wagyu dan segelas es teh lemon. Sebelum makanan tiba, Kiki memberiku banyak informasi tentang berita-berita yang ia buru, hari ini, Kiki berburu berita tentang acara Tadarus Puisi di daerah Jakarta Pusat.
"Wahhh kamu ngeliput acara itu? Pasti seru ya? Aku dengar disana juga ada kang Peri Sandi?" tanyaku penuh antusias.
"Kalau Peri Sandi itu bawa puisinya menggebu-gebu lebih seperti teater atau monolog. Jadi, kenapa aku suka, karena entah kenapa feel nya lebih berasa, pesannya lebih sampai."
"Aku paling suka ketika di membaca karya WS. Rendra yang judulnya Pesan Pencopet Pada Pacarnya. Sindiran yang lengkap ketika beliau yang membawanya!"
"Tapi suatu ketika aku juga suka puisi bapak Sapardi Djoko Damono, lembut dan tenang. Setiap kali membaca karyanya yang Tiga Sajak Kecil, rasanya jadi ingin cepat-cepat jadi seorang Ibu!"
Kiki tertawa kecil melihatku seakan menggebu-gebu melemparkan pertanyaan kepadanya. Bagaimana tidak, puisi adalah salah satu dari yang paling aku suka sebelum Mandala dan senja. Aku terkejut, ternyata Kiki juga menyukai hal serupa, bedanya, ia lebih menyukai pembacaan puisi Gus Mus yang cukup santai.
"Tapi baru-baru ini aku suka sekali puisi Gemi Mohawk," sambung Kiki.
"Wah! Puisi tersingkat dan terdalam yang pernah aku baca! Indonesianus kan?"
Kami tertawa puas, senang rasanya berbincang tentang hal yang kita sukai secara bersamaan. Aku tidak menyangka, sosok Kiki ternyata sosok yang tertarik akan budaya dan puisi tentunya. Padahal, tampilannya lebih seperti penikmat band-band musik popular.
Malam itu, Kiki amat menyenangkan. Pembicaraan kita terkoneksi dengan baik. Banyak karya sastra dan judul-judul teater yang Kiki bagikan selama ia meliput. Aku jadi iri, pekerjaannya menyenangkan karena bisa membawanya keliling menyaksikan seni secara cuma-cuma.
"Mandala bilang ke kamu kalau di gak masuk?" tanya Kiki tiba-tiba. Aku mengangguk tapi memutuskan untuk tidak bertanya keadaan Mandala, aku percaya dia baik-baik saja, karena dia akan segera masuk besok pagi untuk memeriksa pekerjaanku hari ini.
"Mungkin, sekarang-sekarang ini dia akan lebih sering izin,"
"Kenapa?"
"Ada sesuatu yang belum dia selesaikan di luar sana. Dia minta kamu doakan,"
"Bagaimana bisa aku doakan? Dia cerita juga enggak,"
"Ya pokoknya doakan saja, biar bisa sering datang dan temani kamu kerja,"
Aku mengangguk, aku memutuskan untuk tidak bertanya, karena aku tau aku bukan seseorang yang pantas bertanya dan mengkhawatirkan keadaannya. Tapi, mungkin setelah ini aku akan menghubunginya. Jika tidak ada jawaban, aku tidak akan peduli.
YOU ARE READING
Senjaku Ada Dua
General FictionKenal senja? Itu, langit jingga yang hangat namun terkadang menyedihkan. Langit yang berkunjung dan memamerkan keindahannya kepada para makhluk bumi untuk dinikmatinya secara cuma-cuma. Setelah membuat kami selaku penghuni bumi nyaman, senja kemudia...