Aku memandangnya heran, deretan kalimatnya itu membuat jantungku berdetak lebih cepat dari kecepatan normalnya. Bagaimana bisa ia mengatakan hal tersebut dengan gamblang, membuatku hampir menghabiskan segelas air mineral untuk meminimalisir rasa gugup.
Aku memilih untuk diam dan menganggap tidak mendengar semua khayalan yang diucapkannya dengan begitu jujur. Aku menaikkan volume suara musik yang tengah kupedengarkan, namun naas, Mandala malah semakin semangat berbicara.
"Kamu tau lagu ini?" tanya Mandala sambil meletakkan penanya di daun telinga sebelah kanan.
Kemudian bersenandung menikmati alunan lagu dari seorang penyanyi asal Jogja, Frau yang berjudul Sembunyi. Kemudian Mandala kembali berbicara, ia mengaku gemas dengan logat si penyanyi yang amat medok, sehingga menjadi salah satu alasannya untuk menjadi salah satu penggemar penyanyi tersebut.
Sial, entah sejak kapan, tingkat ketampanannya malah semakin meningkat. Mandala yang tengah menikmati lagu kesukaannya sambil berkutat dengan pekerjaannya kini, terlihat semakin menarik, hingga tanpa sadar, aku tersenyum memandang pria dengan balutan kaos coklat tua yang dimasukkan ke dalam celana chino berwarna biru tua.
Sudah kubilang kan jangan berlebihan, nanti aku suka...
Biarkan aku sedikit bercerita tentang sosok Mandala yang kini sudah berhasil merebut posisi peran utama pria dalam ceritaku.
Pertemuan kami tidak terlalu menarik, bahkan kesan pertama jauh berbeda dengan apa yang sudah kami jalani beberapa waktu belakangan ini. Aku tak menyangka, seorang anak lelaki angkuh yang menolak bermain petak umpet, kini sudah menjadi alasanku tersenyum tak henti hingga mentari bertukar tugas dengan bulan dan bintang.
Seorang pria yang tidak banyak bicara, tapi ketika ia mulai berbicara, akan selalu membuatku tidak bisa lupa satu huruf pun yang keluar dari mulutnya. Pria yang terlihat dingin, namun ternyata begitu tenang dan hangat.
Melihatnya, aku hanya bisa menggambarkan seperti keadaan sungai tenang dengan lembayung senja berwarna jingga. Mengapa sungai? Ia begitu tenang, bahkan setiap kali aku merasa kambuh merasa panik karena pekerjaan yang menumpuk, ia akan selalu datang dan membuatku berhasil mengerjakannya satu per satu.
Ketika aku merasa gelisah dengan perubahan mood ku yang buruk, ia akan selalu datang memberiku sebuah buku bacaan sastra yang menarik, dengan rangkaian kata-kata indah di dalamnya. Buku itu adalah buku puisi karya Aan Mansyur – Tidak Ada New York Hari ini.
Sempat berbincang sedikit tentang film yang mengangkat buku tersebut, tapi ternyata, Mandala bukanlah salah satu penggemar dari film dengan jutaan penonton itu. Ia bahkan lebih menyukai teater dibandingkan bioskop.
Aku masih bimbang, pantaskah aku melabelinya seperti label senja yang hangat? Mandala yang ramah dan menyenangkan, adalah sisi sisi yang mampu membuatku merasa hangat ketika bersamanya.
Mandala datang selalu tepat pukul 11 siang, ia akan datang dengan segelas teh lemon hangat dalam botol minumnya. Setiap makan siang, Mandala juga rajin meneguk beberapa pil yang katanya adalah suplemen untuk tubuhnya yang sedikit lemah. Mandala suka bakso, karena itu ketika makan siang, aku yang selalu memutuskan sebelum Mandala meminta bakso sebagai makan siangnya.
Usai pelatihan selama sepekan, Mandala merubah gaya berpakaiannya. Kini, Mandala lebih sering mengenakan kemeja panjang atau kaos longgar dan celana chino 3 warna khasnya, biru tua, coklat susu, dan abu muda. Ia selalu memilih warna cerah namun tidak mencolok, dipadukan dengan sepatu kets putih bak anak gaul masa kini.
Sedangkan aku, aku merasa selalu nyaman dengan rok tanggung dan baju lengan panjang yang longgar atau kemeja big size, ditambah sepatu kets berwarna kulit yang netral. Dan sejak itu aku tau, kita sama-sama menyukai gaya yang santai.
YOU ARE READING
Senjaku Ada Dua
General FictionKenal senja? Itu, langit jingga yang hangat namun terkadang menyedihkan. Langit yang berkunjung dan memamerkan keindahannya kepada para makhluk bumi untuk dinikmatinya secara cuma-cuma. Setelah membuat kami selaku penghuni bumi nyaman, senja kemudia...