Bagian 1 - Senja Kedua

105 3 0
                                    

Pemandangan yang selalu kusuka adalah, ketika senja mulai tiba. Jendela besar yang terletak tepat di belakang meja kerja Mandala adalah pemandangan paling sempurna yang pernah mendarat di kedua mataku. Pemandangan senja yang seakan semakin sempurna dengan kehadiran Mandala yang membelakanginya.

"Sore, sesuka itu sama pemandangan sore?"

Aku yang sejak tadi meletakkan jemariku diatas papan ketik, sedikit terkejut memandang Mandala yang tiba-tiba saja terbangun dari kursi tempatnya bekerja. Kemudian ia berdiri membelakangi meja kerjanya, memandang senja dengan begitu egois.

Ia menggerakkan kedua tangannya, dan melipat didepan dada kurusnya. Pemandangan itu entah mengapa menjadi semakin sempurna. Seakan Mandala berubah menjadi siluet yang kalah karena pantulan sinar senja jingga dibalik jendela.

"Aku mau jadi senja, boleh?"

Aku memandangnya, suasana ruang kerja yang menyisakan kami, entah kenapa selalu membuatku berubah menjadi gugup. Aku tidak bisa lagi memaki mereka yang mengotori ruang kerja, mungkin memang karena sore ini hanya menyisakan aku dan Mandala yang pada dasarnya tidak akan membuatku memaki, karena ia akan selalu membersihkan ruangannya.

"Senja itu datangnya cuma sebentar, gak boleh." Jawabku ragu.

"Tapi kamu suka,"

"Jadi?"

"Jadi, aku mau jadi senja, biar kamu suka,"

Aku terbatuk, padahal tenggorokanku juga tidak begitu gatal. Tapi, pria yang digilai para karyawati ini selalu saja mengungkapkan hal-hal aneh yang membuatku terpantul layaknya bola ping pong. Jatuh, kemudian terbang lebih tinggi. Tapi aku juga lebih ingin bertanya, "Kita itu apa?".

"Aku akan menjadi senja dan mengatakan padamu ketika sore tiba, Sore, sudah waktunya pulang, sudah waktunya beristirahat, aku akan menjadi yang pertama menyambutmu pulang, membuatmu tersenyum ketika kamu lelah sepulang kerja,"

"Tanpa menjadi senja kamu kan bisa mengatakan seperti itu?"

Dia berbalik memandangku, hanya menyisakan senyum yang entah bagaimana seakan menjadi candu untuk hidupku agar bisa menjaga kesehatan. Kenapa? Karena aku ingin terus sehat dan masuk kerja, aku punya dua senja setiap sore datang, pemandangan yang luar biasa menakjubkan.

Tak lama ia mengenakan kembali jaket tim bola kesayangannya dengan warna khas biru muda. Kemudian disusul dengan ranselnya yang sudah memeluk manis punggungnya dengan sempurna. Aku iri pada ranselnya. Ini sungguh.

"Aku duluan ya,"

Aku mengangguk. Kami memang dekat, entah bagaimana jika harus dijelaskan. Aku pun bingung. Tapi kami tidak juga seperti pasangan, yang pulang bersama dan Mandala mengantarku sampai depan rumah, kemudian berkenalan dengan ayah dan ibu. Kami lebih sering menghabiskan waktu dan bermain kata misterius bersama, tapi satu hal yang selalu membuatku ragu dan tidak berani bertanya. Ia tak pernah mengajakku pulang bersama. Satu kegiatan yang sangat penting untuk masa pendekatan bukan?

Sampai kapan kau mengajakku bermain kata yang tak berujung? Aku yakin, kau mafhum dengan apa yang aku rasakan, begitu juga denganku, itu juga memang jika aku tidak salah menafsirkan.

Hari ini sepi, semesta seakan mendukung dan memberikanku pemberitahuan bahwa aku harus siap merasa sepi hari ini. Burung-burung berterbangan seakan mencari tempat yang lebih baik. Awan kini hanya bekerja sendiri di pagi hari tanpa bantuan cahaya matahari. Sepertinya matahari kesiangan, atau memang tidak akan datang sama sekali?

Senjaku yang kedua hari ini izin untuk beristirahat. Katanya sedang terlihat buruk hingga tidak berani menampakkan dirinya dihadapanku. Begini isi pesan digital yang dikirimnya pukul sembilan tadi.

Dear Sore yang datangnya selalu pagi,

Hari ini aku izin ya. Aku sedang tidak menarik hari ini, jadi aku harus beristirahat. Kalau saja aku paksakan masuk, aku khawatir rasa tertarikmu luntur karena terkejut dengan penampilanku hari ini. Bekerja lah dengan baik, ini ada beberapa data yang harus kamu kerjakan dan harus selesai besok karena aku harus segera memproses semua itu. Kerjakan tepat waktu tanpa lembur. Bukan, bukan karena aku takut kamu kemalaman pulangnya, aku takut kamu lembur tapi tidak dibayar. Jadi, semangat!

Pria satu ini memang menggemaskan. Ada rasa kesal yang menggelitik, tapi dalam sekejap entah mengapa berubah menjadi perasaan gemas yang tidak tertahankan. Aku belum pernah marah dengannya, meski beberapa kali ia mengusik ketenanganku. Bahkan meninggalkanku pulang tanpa kepastian setelah usai bermain kata.

Pertemuan kami di masa lalu memang terbilang singkat. Bahkan mungkin tidak termasuk dalam sebuah pertemuan yang baik, tapi di masa kini, aku dan Mandala berhubungan cukup baik. Mungkin juga bisa karena kami bekerja di tempat yang sama.

Satu hal yang membuatku tidak pernah melupakan Mandala adalah, mengetahui fakta bahwa 10 tahun lalu, anak lelaki itu sempat menyukaiku. Aku belum cerita ya? Baik, biar sedikit kuceritakan tentang 10 menit terbaik itu.

Senjaku Ada DuaWhere stories live. Discover now