Jangan ramah ya, nanti aku suka...
Aku yang tidak terlalu berbaur dengan wanita lain di kantor, akhirnya menemukan teman untuk sekedar menikmati makanan di luar kantor. Sudah sepekan kurang 3 hari ini, aku dan Mandala menghabiskan waktu istirahat bersama, ditambah lagi, aku dan Mandala ternyata tergabung dalam satu tim. Usai sepekan kemarin menghabiskan waktu untuk beberapa pelajaran, Mandala kini menempati meja tepat di depan meja kerjaku. Aku bersyukur, jadinya, tidak lagi rumit untuk mengenal penghuni baru.
Pertemuan yang amat singkat 10 tahun lalu, entah mengapa melahirkan banyak topik untuk kami bicarakan. Menyenangkan, ternyata anak lelaki itu tidak seangkuh apa yang aku gambarkan. Ia selalu mengisi segala keheningan dengan segala pembicaraan yang menyenangkan.
"Mau jumpa Kiki?"
Aku mengangguk penuh semangat. Rasanya akan menyenangkan ketika bertemu kawan lama yang dulu lebih menyenangkan daripada sang kakak yang kini tengah berjalan tepat disampingku.
Mandala memintaku menunggu di sebuah kedai kopi yang tidak begitu jauh dari tempat kami bekerja. Ia masih berdiri sambil sesekali memandang jam tangan kulitnya. Angin siang itu berhembus kencang, rambutku yang diikat kuda seakan tersenyum menang ke arah angin, sedangkan rambut Mandala seakan tengah bermain dengan angin.
"Jangan lupa dibawa lagi, aku gak mau bolak-balik terus nganter ini!" teriak seorang pria dengan kemeja flannel hitam putih yang membalut tubuhnya yang nampak proposional.
Usai memasukkan sesuatu dalam sakunya, Mandala menarik pria berkalung kamera DSLR tersebut ke arahku. Aku tidak begitu yakin pria itu adalah Kiki, karena dulu, Kiki bahkan memiliki kulit yang lebih putih dari Mandala.
Aku tersenyum dan memperbaiki long dressku yang terlihat sedikit kusut. Dan benar saja, Mandala mengenalkan pria ini dengan nama yang sama seperti dugaanku yang baru saja aku tangkis. Kiki, ia tumbuh dengan baik, bahkan terlihat lebih sehat daripada Mandala yang terkadang pucat.
"Sore? Ini Sore?" tanya Kiki tak yakin. Kemudian ia tertawa kecil dan spontan menarikku dalam pelukannya. Wah, ternyata pandanganku tidak salah, tubuhnya benar-benar proposional.
Menyadari adiknya yang sedikit tidak sopan, Mandala menarik paksa lenganku untuk melepaskan pelukan mengejutkan tersebut. Memandang tajam ke arah Kiki yang segera meminta maaf atas tindakan spontannya yang memang sangat mengejutkan.
"Lama tak jumpa ya Ki?" sapaku sambil memperbaiki rambutku yang masih melawan angin.
Tak heran kulitnya menjadi lebih gelap, ternyata Kiki adalah seorang reporter berita, yang lebih sering bekerja di lapangan. Berbeda dengan Mandala, yang kini lebih bersih meski kulitnya terlihat pucat pasi.
Kami berbincang banyak hal sambil sesekali melihat jam tangan yang melingkar untuk menjaga waktu makan siang agar tidak terlalu cepat habis. Menyenangkan rasanya bertemu dengan orang-orang dari masa lampau. Meski pertemuan yang amat singkat, tapi selalu ada banyak topik menyenangkan untuk dibahas.
"Nanti kita jumpa lagi ya Sore, jangan tiba-tiba pergi lagi, gak mungkin kan aku harus nangis-nangis didepan kantor kamu karena kamu pergi gak pamit?" tegas Kiki sambil melambaikan tangan kanannya yang muncul dari jendela kendaraan roda empatnya.
Aku tak henti tertawa bahkan hingga aku sampai di meja tempatku bekerja. Menyadari hal tersebut, Mandala memperingatkanku untuk menjaga kejiwaanku agar tidak terganggu. Terkadang memang Mandala masih menyebalkan seperti sosok penguntit, tapi, wajah tampannya selalu mampu mengurungkan niatku untuk tidak membalasnya.
Mandala, ia benar-benar hadir sebagai warna baru dalam keseharianku. Ia terus-terusan melukis warna yang terkadang abstrak dengan tinta berwarna khasnya. Kesearianku tak lagi membosankan, ia adalah seseorang yang sedikit banyak memiliki persamaan denganku. Salah satunya, ia juga menggila akan dunia seni dan budaya.
"Kok kamu selalu datangnya jam 11 siang sih?"
"Aku ini kan spv, jadi bebas,"
"Spv sebelah malah datang lebih pagi tuh~"
"Aku gak suka dibanding-bandingkan ya,"
"Aku juga gak suka kamu diberi kebebasan jam datang,"
Ini pertengkaran pertama kami, aku fikir, hanya awal saja Mandala datang siang hari, Tapi ternyata, sudah sebulan lebih di masa kerjanya ini, ia bebas datang jam berapapun, tidak seperti pegawai pada umumnya. Dan itu membuatku jengkel.
"Kalau keadaan gak memaksaku untuk datang siang, aku pasti datang lebih pagi untuk liat kamu lebih awal, untuk liat kamu yang masih segar sebelum berkutat dengan pekerjaan," bisik Mandala sambil menarikan jemarinya di atas papan ketik laptop miliknya.
"Bahkan aku mau jadi yang pertama datang meletakkan teh hangat di meja kerjamu sebelum kamu datang, tapi, aku gak bisa," sambungnya.
YOU ARE READING
Senjaku Ada Dua
General FictionKenal senja? Itu, langit jingga yang hangat namun terkadang menyedihkan. Langit yang berkunjung dan memamerkan keindahannya kepada para makhluk bumi untuk dinikmatinya secara cuma-cuma. Setelah membuat kami selaku penghuni bumi nyaman, senja kemudia...