AUTHOR POV - JULI 2017
Dua hari sudah berlalu sejak Drady menangkap tubuh Rara di kantin siang itu.
Sejak kejadian siang itu, setiap Drady dan Rara tidak sengaja berpapasan di hospice, mereka akan saling menyapa sambil membungkukan badan dengan canggung.
"Dokter! Dokter Vico!" teriak Drady ketika ia sedang berjalan dari kantin menuju kamarnya dan melihat Dokter Vico tak jauh di depannya.
Dokter Vico yang sedang mengecek data kondisi pasien di meja perawat menoleh ke asal suara itu.
"Pasien menyebalkan itu lagi." gerutu Dokter Vico pelan sambil meletakkan data pasien yang tengah dibacanya itu di meja, namun masih terdengar oleh Ajeng dan Allisa yang sedang duduk di meja perawat.
Ajeng dan Allisa tertawa kecil.
"Tapi, harus kuakui.. Ia sangat tampan, Dok!" sahut Ajeng.
"Lebih tampan juga aku." sahut Dokter Vico dengan coolnya sambil berjalan menjauh dari meja perawat.
"Dokter Vico! Sini sebentar!" panggil Drady lagi.
Dokter Vico, mau tidak mau, suka tidak suka, harus mendengarkan permintaan Drady. Karena Dokter Vico adalah dokter dan Drady adalah pasien.
Dokter Vico berjalan menghampiri Drady. "Ada apa?" tanyanya.
"Dok.... Ada yang ingin kutanyakan padamu... Apa kau ada waktu?" tanya Drady.
Salah satu jobdesc seorang dokter di hospice adalah menyemangati dan mendengarkan keluh kesah pasien. Itu berarti, mau tidak mau, suka tidak suka, Dokter Vico harus menganggukan kepalanya dalam menjawab pertanyaan Drady.
"Ya.. Ada apa? Silakan tanyakan padaku." sahut Dokter Vico.
Drady tertawa kecil sejenak.
"Mengapa kau tertawa?" Dokter Vico mengerutkan keningnya, menatap Drady.
"Aku paham sekarang mengapa mereka semua menyebutmu sebagai dokter yang killer. Karena sikapmu dan ekspresi wajahmu yang dingin begini." sahut Drady sambil berusaha menghentikan tawanya.
"Ckckckckck." gumam Dokter Vico sambil menggelengkan kepalanya.
"Gosip itu masih menyebar di hospice rupanya.." gumam Dokter Vico lagi.
Sementara dari kejauhan, Allisa dan Ajeng mengernyitkan kening mereka melihat pemandangan yang tak jauh dihadapan mereka itu.
"Pasien Drady tertawa? Ia tertawa ketika bersama Dokter Vico?" tanya Ajeng.
"Apa benar Dokter Vico bisa membuat pasien tertawa?" tanya Allisa. "Apa mataku tidak salah lihat?"
"Benar! Pemandangan macam apa ini? Selama aku bekerja disini, aku tidak pernah sekalipun melihat ada pasien yang tertawa seperti itu ketika bersama Vico!" sahut Dokter Rama, yang tiba-tiba sudah ada di belakang Ajeng dan Allisa.
.
.
.
"Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Dokter Vico.
Dokter Vico duduk bersebelahan dengan Drady di rooftop garden yang ada di gedung hospice.
"Dok..." tanya Drady sambil menatap Dokter Vico.
"Apa?" sahut Dokter Vico.
"Selama kau menjadi dokter di hospice ini... Sudah berapa banyak kematian yang kau saksikan dengan kedua matamu?" tanya Drady.
YOU ARE READING
Cinta Terakhir Di Yogyakarta
Teen FictionYogyakarta Hospice, tempat dimana cinta terakhir berkembang diantara Drady, Rara, Furqon, dan Yasmin, ketika ajal dalam perjalanannya menjemput nyawa keempat remaja itu.