BAB 5.

114 10 4
                                    

Semester 2 berakhir.

Satu tahun masa belajar di SMA telah dilalui. Masuklah tahun kedua, tahun dimana kita bisa bebas berorganisasi, bersosialisasi, dan mulai ikut campur tangan dalam urusan acara-acara sekolah.

OSIS. Tahun ini adalah masa kejayaan angkatan Nindy, karena mereka lah yang memegang kendali untuk setiap aktivitas sekolah. Dulunya diperintah namun sekarang memerintah. Roda akan berputar bukan?

Pembagian kelas baru dilakukan di lapangan apel. Setelah upacara selesai, wakil kepala sekolah bagian kesiswaan mengambil alih dan membariskan kembali murid-murid yang sedang duduk-duduk beristirahat di pinggir lapangan.

Nama-nama siswa setiap kelas mulai dibacakan, mulai dari 11 IPA 1 sampai dengan 11 IPA 7, kemudian dilanjut dengan kelas 11 IPS 1 sampai dengan kelas 11 IPS 4.

Semua mulai terpecah, terpisah dari teman sekelas dan bertemu dengan teman baru.

Nindy, Ulfa, dan Dara yang dulunya sekelas sekarang harus berpisah. Dara masuk ke kelas 11 IPA 1, Nindy masuk ke kelas 11 IPA 2 bersama dengan Yuna, Ulfa terdampar ke kelas 11 IPA 7, dan Rahma masuk ke kelas 11 IPA 3.

Nindy bersyukur ia tidak sendirian. Diantara 4 sahabatnya ini, setidaknya ada salah satu yang menjadi teman sekelasnya.

"Dar, Ardi sekelas aku sama Nindy, loh!" pekik Yuna. Mereka duduk-duduk di tangga koridor, kebetulan masih kelas kosong karena belum dibaginya jadwal mata pelajaran dan guru yang masih sibuk-sibuk dengan rapat dan pernak-perniknya.

"Lah, terus? Urusan aku apa?" ujar Dara malas tanpa menoleh ke arah Yuna, memakan tempe gorengnya dengan santai.

"Kamu udah bener-bener lupain dia ya?" tanya Nindy. Dara melirik sekilas ke arah Nindy kemudian kembali menatap lapangan rumput yang ada di depannya, lalu mengangguk pelan.

Nindy tepuk tangan. "Bagus deh kalo gitu."

Yuna memukul pelan lengan Nindy. "Kok bagus, sih?!"

Yuna menatap Dara yang sama sekali tak melirik ke arahnya. "Kok kamu segampang itu sih nyerah?"

Merasa diremehkan, Dara menoleh kasar. "Maksud kamu apa?"

"Ya biasanya kan kamu pasti usaha terus sampe dapet, lah ini? Nihil, tau nggak." Yuna melipat kedua lengannya di depan dadanya.

"Lah, bagus dong Dara nyerah. Daripada Dara merasa sakit mulu, sedangkan yang nyakitin juga nggak tau ternyata dia nyakitin orang lain." jelas Nindy.

"Lagian Dara sekarang, kan, udah punya Kak Farhan, jadi mending mikirin hubungan dia dengan pacarnya aja dong." lanjutnya.

"Tuh, dengerin. Masa kamu kalah sama Nindy yang lola gini." bela Dara. Yuna merasa ada benarnya juga.

Selama ini memang Dara selalu berusaha untuk mendapatkan hati Ardi, tetapi Ardi tetap tidak ada reaksi sama sekali.

"Itu sih karma buat kamu, Dar, selama ini kamu suka banget permainin hatinya cowo. Sekali-sekali kamu yang ngerasain kayak gitu." celetuk Yuna sambil tertawa. Dara hampir saja menjitak kepala Yuna kalau saja tidak ditahan oleh Nindy.

"Yaudah, kamu baik-baik ajadeh sama pacar kamu sekarang." Dara mengangguk.

"Okey, okey. Mulai sekarang aku akan lupain perasaanku ke Ardi. Aku fokus ke Kak Farhan aja. Goodbye, Ardiiii!" ucap Dara sambil melambai-lambaikan tangannya seperti memberikan salam perpisahan. Nindy dan Yuna terkekeh melihat tingkah Dara yang sudah jauh lebih baik.

***

Katanya kalau ada salah satu sahabat telah disakiti orang lain, maka sahabat yang lain juga akan merasa tersakiti. Hal itu benar dialami Nindy setiap kali dia melihat sesosok Ardi yang tentu saja baru dia tahu wujudnya setelah satu kelas dengannya.

Seperti halnya saat pemilihan ketua kelas, Ardi mengajukan diri. Tapi tak ada sedikitpun niat Nindy untuk memilihnya. Yang lebih mengesalkannya lagi adalah, malah Ardi yang terpilih menjadi ketua kelas.

Akhir-akhir ini hidup Nindy sedikit berubah karena mulai banyak cowok yang ingin masuk ke kehidupannya.

Kejadian pertama yaitu Fatur. Saat itu mungkin saat yang sulit bagi Nindy karena dia sedang berhadapan dengan cowok bermuka dua. Belum lagi setelah kejadian itu baru saja berakhir, ia berurusan lagi dengan Haris, teman Fatur. Setelah hari pembagian rapor selesai, sorenya ia mendapat pesan dari Haris, yang berisi tentang pernyataan perasaannya terhadap Nindy. Nindy sudah mengatakan bahwa ia sedang tidak ingin memiliki sebuah hubungan, tetapi sampai sekarang Haris masih saja bersikukuh ingin berpacaran dengannya.

Kejadian Haris berbarengan dengan kejadian Radit. Kalau ini, sih, masih bisa Nindy atasi. Karena sebenarnya kabar hubungan antara ia dengan Radit hanyalah bualan semata buatan teman-teman sekelasnya dulu. Hanya karena Radit sangat sering menggangu Nindy makanya gosip itu mulai muncul ke permukaan.

Bukannya Nindy sedang membatasi kehidupan asmaranya, tetapi ia memang belum merasakan getaran di hatinya. Atau memang dia yang sedang tak ingin membuka hatinya?

***

"Kelas saya tinggal ya, karena saya ada urusan mendadak. Untuk tugas yang sedang kalian kerjakan silakan dikumpulkan ke ketua kelas, lalu boleh keluar kelas setelah bunyi bel." Pesan guru biologi, bu Lisa sebelum beliau meninggalkan ruang kelas.

Suasana ruang kelas mulai tampak merenggang setelah guru keluar. Ada yang mulai menggabungkan mejanya untuk mengerjakan tugas bersama, ada juga yang lebih memilih tidur daripada melanjutkan tugas.

Tak terasa bel pun sudah tiba. Tugas-tugas sudah mulai terkumpul dan disusun dengan rapi, di atas meja guru.

"Ini ya, tugasku." Nindy meletakkan buku tugasnya di atas tumpukan buku yang akan diangkat oleh Ardi. Setelah mendapat anggukan Nindy berbalik, tetapi ia berbalik kembali karena dirinya merasa terpanggil.

"Nin, bisa bantuin aku bawain bukunya, nggak?" Nindy mengangkat alisnya, masa cowo ngangkat gituan ga bisa, batinnya.

Nindy mengangguk mengiyakan, mengingat dirinya memang susah untuk menolak orang yang meminta pertolongan. Nindy membawa sebagian kecil buku-buku lalu berjalan di belakang Ardi. Masih terasa canggung, tentu saja. Berjalan bersama dengan seorang cowok yang sudah menyakiti perasaan sahabatnya rasanya ngga banget deh!

Lagian ada-ada saja, tiba-tiba dia diminta tolong oleh Ardi, padahal kan masih banyak orang lain yang bisa ia mintai tolong. Lalu, kenapa harus Nindy?

"Kamu tahan, ya, selalu digangguin sama Radit." Ardi mulai membuka obrolan, memecahkan suasana canggung diantara mereka berdua.

Nindy menghela napas setelah mendengar pertanyaan itu. "Udah nasib ya mau gimana lagi," jawab Nindy. "Dia orangnya jahil banget, sih."

Nindy melirik ke arah punggung Ardi. "Kamu akrab ya, sama Radit?" Ardi menoleh ke belakang, merasa pertanyaan itu ditujukan untuknya.

"Hm? Aku sama Radit itu udah kayak pinang dibelah dua deh, pokoknya." jawab Ardi singkat sambil memelankan langkahnya, agar bisa seiringan dengan langkah Nindy.

"Tapi kalian kok nggak mirip?" Ardi menoleh lagi lalu tergelak.

"Maksud aku tuh, kita itu udah kayak punya satu tubuh dibagi dua gitu, bukan berarti aku sama Radit kembaran."

"Tapi sikap kalian berdua memang agak mirip ya, mulai dari gaya jalannya sama cara ngomongnya." jawab Nindy menelaah.

"Iya, maksud aku tuh kayak gitu tadi. Kamu baru paham?" Ardi mulai gemas.

"Oalah. Bilang, dong. Aku pikir maksud kamu tuh kalian berdua wajahnya mirip." Ardi hanya tersenyum simpul menghadapi ke'lola'an seorang Nindy yang sifatnya itu sudah terkenal di sekolahnya.

"Jadi, menurut kamu, gantengan aku apa Radit, nih?" tanya Ardi asal nyeblak.

"Gantengan Coki." jawab Nindy cepat.

Jawaban NIndy membuat Ardi bingung. "Coki siapa?"

"Nggak tau, asal nyebut aja. Biar aku nggak harus milih diantara kalian berdua. Biar adil aja, gitu." Ardi hanya bisa menggeleng sambil tersenyum. Ada-ada saja pemikiran gadis satu ini.

Pantas saja Radit sangat betah mengganggu Nindy, Nindynya pengen digigit banget!


***

Mr. RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang