BAB 6.

84 3 0
                                    

"Nindy, aku duluan ya,"

"Iya, Yun. Hati-hati ya."

Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Tak sampai 10 menit setelah bel berbunyi, sekolah mulai sepi, apalagi sudah pukul 5 sore. Tersisalah Nindy seorang diri di ruang kelas 11 IPA 2, menatap sampah-sampah bungkusan makanan yang berserakan di lantai.

Nindy menghela nafasnya lalu bergegas mengambil peralatan untuk bersih-bersih seperti sapu dan serokan sampah.

"Apa susahnya, sih, buang sampah langsung ke tempat sampahnya?" gumam Nindy.

"Tong sampahnya, loh, dekat, nggak perlu jauh-jauh sampe gerbang depan, kan, cuam buat buang sampah." Nindy masih saja menggerutu sendirian, tetapi tetap melaksanakan tugas bersih-bersihnya.

Nindy memang merupakan seorang gadis yang sangat anti dengan sampah, sewaktu kecil cita-citanya ingin menjadi duta lingkungan, karena ia sangat menyukai kebersihan. Seperti hari ini, jadwal piket sebenarnya sudah ditentukan, tetapi masih banyak yang belum bertanggung jawab atas tugas yang sudah diberikan.

"Loh, Nin, sendirian?" Nindy menoleh ke arah pintu, seseorang baru saja masuk. Nindy hanya mengangguk lalu kembali melanjutkan aktivitasnya.

"Siapa aja temen sepiket kamu?" tanya Ardi sambil berjalan ke arah tempelan kertas di mading kelas berisikan daftar piket kelas 11 IPA 2.

"Aku nggak piket hari ini, Di." Ardi menoleh bingung.

"Lah, terus? Kenapa kamu nyapu?"

"Ya mau gimana lagi, Di, aku nggak suka liat kelas berantakan gini. Kalo piketnya besok pagi mah nggak bakal sempat."

Nindy mengangkut serokan yang berisi sampah keluar kelas untuk dibuang ke tempat sampah. Ardi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Nih, aku udah selesai. Yuk, pulang." Ajak Nindy sembari menyandang tasnya.

"Pulang?" tanya Ardi sedikit tersentak dengan perkataan Nindy.

"Iya, memangnya kamu masih mau disini sampai kapan?"

"Oalah, aku pikir kamu ngajak aku pulang bareng." gumam Ardi sangat amat teramat pelan.

"Kamu ngomong apa barusan?" Ardi baru tersadar kalau kalimat yang ada di batinnya mengalir ke mulut. Untung saja Nindy tidak dengar.

"Nggak ada, hehe." Nindy hanya menatap bingung Ardi yang sedang tersenyum canggung lalu melangkah keluar kelas.

"Kalo gitu aku duluan ya. Daahh..." Nindy pun berlalu meninggalkan Ardi yang sedari tadi belum beranjak dari bangku guru.

"Astaga, ini mulut kok bisa-bisanya bocor gini dah," ucap Ardi sambil menepuk-nepuk mulutnya. Dia merasakan pipinya agak memanas, padahal cuaca sedang tidak panas dan tidak ada kejadian yang bisa membuat pipinya jadi sepanas ini.

"Aku kenapa?" gumamnya.

***

Hari ini pun terulang lagi. Ruang kelas selalu dibiarkan jorok dan berantakan. Mau tidak mau Nindy harus membereskan ini semua daripada besok ia harus belajar ditemani sampah bekas makanan dan minuman.

Semua sudah beres, Nindy pun mulai beristirahat. Tapi ia terkejut dengan kehadiran Ardi yang sekarang sedang menatapnya di bangku guru.

"Ya Allah, Dii. Kamu ngagetin aja!" ujar Nindy terduduk sambil memegang dadanya. Ardi tertawa kecil.

"Aku loh, udah daritadi disini. Masa kamu nggak sadar?"

"Kamu sih, dari tadi nggak bersuara, ya mana aku tahu kalo kamu disini." Ardi kembali tertawa kecil lalu bangkit, meletakkan sekaleng Coca Cola di hadapan Nindy.

Mr. RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang