BAB 7.

6 2 0
                                    

"Kamu tuh kenapa beberapa hari ini jarang banget, sih, ke lapangan basket? Biasanya tiap hari juga basketan mulu sampe sore." tanya Sintya yang mengabaikan semangkok bakso yang ada di hadapannya, sambil memandang seseorang yang sedang memakan mie gorengnya dengan lahap.

"Nggak apa-apa." jawab Ardi singkat tanpa menatap Sintya. Sintya merasa dicuekin, tentu saja. Sudah beberapa hari batang hidung Ardi tidak terlihat, entah itu di kantin ataupun di lapangan basket. Bahkan untuk menemuinya di kelas pun juga susah, sampai-sampai Sintya berpikir jangan-jangan Ardi bolos, lagi.

Dan akhirnya, dengan memanfaatkan sahabat dekat Ardi gadis ini bisa melihat kembali seorang Ardi, bahkan mengantarnya sampai ke rumah, walaupun dengan pemaksaan.

"Kamu kok tega sama aku?" Sintya memasang wajah memelas. Sia-sia. Ardi tetap tidak meliriknya sama sekali.

"Tega apaan sih?"

"Ya tega. Sering ninggalin aku sendirian, nggak nganterin aku pulang. And now, kamu cuekin aku dari tadi." Ardi mengangkat kepalanya. Berhasil!

"Kalo aku cuekin kamu, aku nggak mungkin ngebales omongan kamu. Gimana sih?" Ardi kembali fokus dengan mie gorengnya, merengut kecil karena Sintya sudah mengganggu ritual pemenuhan isi perutnya.

Ardi memang orang yang susah untuk dilawan. Dia akan memberimu seribu alasan sampai kamu kehilangan kata-kata. Sintya sudah lama kesal dengan sifat Ardi yang satu ini. Tetapi mau bagaimana lagi, gadis ini tidak ingin kehilangan sesosok orang yang sangat ia cintai, untuk kedua kalinya.

"Hei bocah, jangan ngambek gitu, dong." Suara Radit terdengar saat ia memasuki kantin, mengekor di belakang Nindy yang sedang memasang wajah cemberut sambil sedikit mendumel.

"Berisik, ih! Mending kamu diem deh, daripada bikin aku makin marah." Nindy berhenti di etalase jajanan gorengan. Matanya berputar menjajali seluruh etalase kemudian memesan gorengan kesukaannya, pisang goreng.

"Ini, Mbak, biar saya yang bayar." Radit merogoh sakunya kemudian memberikan mbak-mbak penjual gorengan lembaran sepuluh ribu.

"Apaan sih, nggak nggak. Biar aku bayar sendiri."

Mbak-mbak gorengan tampak bingung harus mengambil duit siapa, dan dengan terpaksa mengambil duit dari tangan Radit karena sedari tadi ia memelototi mbak-mbak gorengan. Nindy hanya menatap sinis ke arah Radit yang tersenyum menang kemudian pergi mencari tempat duduk.

"Udah, jangan ngambek lagi. Kan udah aku ganti, tuh." ucap Radit sambil duduk di hadapan Nindy yang sedang mengunyah pisang gorengnya.

"Kwamu tuh ywa kwkamu emwang mawu ywa ngwomong," ucap Nindy tak jelas karena mulutnya masih penuh dengan makanan. Melihat itu Radit tertawa gemas melihat tingkah laku gadis yang ada di seberangnya.

"Kunyah dulu terus telan, baru ngomong," kata Radit sambil memencet pipi gembul Nindy, membuat Nindy semakin merengut kesal.

""Kamu tuh kalo mau makanan aku ya tinggal ngomong, jangan ngerampas. Itu namanya mencuri, nggak baik loh, ntar kalo jadi kebiasaan." ucap Nindy menggurui. Radit terdiam sebentar kemudian mengacak rambut Nindy pelan.

"Iya iya, nggak akan aku ulangi kok. Jangan marah lagi ya bocah." ucap Radit lembut. Hatinya mulai menghangat saat Nindy menasehatinya tadi. Ternyata masih ada yang mau peduli dengannya.

Ardi tak bisa melepas pandangannya dari Nindy dan Radit, bahkan sempat beberapa kali ia memelototi Radit saat sahabatnya itu menyentuh pipi dan rambut Nindy.

"Mereka dekat banget ya, kayak kita. Entar lagi jadian tuh kayaknya, haha."

Sintya memecah keheningan kala didapatinya Ardi selalu memandang ke arah gadis itu. Ia ingat sekali bagaimana Ardi yang bersikeras tidak mau meninggalkan Nindy sendirian di kelas saat sore kemarin. Rasanya ada sesuatu tapi Sintya tidak tahu itu apa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 18, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mr. RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang