~Harfandi~
Sudah satu minggu Hiranya berada di kontrakanku tak jauh dari puskesmas. Aku punya rumah di Serpong. Jauh sekali. Ini pun aku masih harus mencicil material bangunan sebab perlu menambah kamar tidur dan kamar mandi.
Sore ini aku langsung pulang dari puskesmas. Di group chat tidak ada lowongan menggantikan jaga dokter klinik. Biasanya aku mencari tambahan pundi-pundi dengan menjadi dokter jaga ganti. Pekerjaan yang tidak selalu ada.
“Zahra.” Aku mengangkat tubuh keponakanku yang tengah memanjat bangku. Kakinya berjinjit sementara tangannya mengubek air di akuarium.
“Ikan, Uwak. Biyuuu.” Zahra mengangkat satu ikan neon tetra berwarna biru. Mulut makhluk air itu megap-megap. “Antik, antik,” pujinya.
“Iya, ikannya cantik.” Aku mendukung. “Masukin ke air lagi ya, kasihan nanti mati.”
“Dadah ikan.” Zahra mengeluarkan kiss bye andalannya usai mengambalikan ikan itu ke habitatnya.
“Zahra cuci tangan, terus mewarnai ya. Uwak beli buku yang ada gambarnya sama pensil warna.” Kugendong Zahra ke wastafel.
Zahra menekan pump pada botol sabun. Diusapkannya kedua tangannya hingga sabun itu berbusa. Aku memutar keran dengan aliran air terkecil.
“Gedein, Uwak.” Zahra memutar keran sampai batas maksimal. Airnya muncrat ke mana-mana. Dia malah tertawa seraya bertepuk tangan. Aku mematikan air.
“Bajunya basah. Tunggu Mama gantikan,” kataku seraya menoleh pada Hiranya. Dia sibuk sekali mengobrol di telepon.
"Lo jadi laporin Pak Dahyar ke Polda, Nas?" Hiranya tampak kaget.
"Iyalah. Minggu lalu gue laporin ke polsek pas hari Minggu, malah gue diomel-omelin. Katanya hari Minggu tuh cuma setengah hari. Polisinya udah mau pulang. Lah mana gue tempe?"
"Emang polisi ada hari liburnya ya? Bukannya 24 jam?" Kening Hiranya mengernyit.
"Nggak tahu lah. Pas ke sini juga awalnya gue ditanya, tapi kayak merendahkan gitu. Apa gue menikmati kok bisa sampai berkali-kali? Ya gue kan terpaksa biar skripsi cepat ACC. Mau bayar uang kuliah berapa juta lagi kalau nggak kelar-kelar?" Teman Hiranya itu menggerutu.
"Ooo, terus, terus?" Hiranya antusias mendengar kelanjutan cerita.
Aku khawatir Zahra masuk angin, tapi tak mau mengganti bajunya. Bukan apa-apa, aku ini laki-laki, lebih baik mencegah hal yang tidak diinginkan.
"Untung ada Mbak Dara yang nolongin gue."
"Mbak Dara siapa?" tanya Hiranya.
"Mantannya Abang gue. Dia pengacara. Ngancam mau viralin kalau Pak Pol nggak mengusut tuntas kasus gue." Teman Hiranya tertawa.
"Memang ya kekuatan netizen +62 sungguh barbar." Hiranya ikut tertawa.
"Udah diterima lah laporan polisi gue. Tunggu aja Pak Dahyar. Gue yakin nggak lama lagi bakal diciduk."
Hiranya tampak berbinar-binar mendengar penjelasan temannya. Seakan dia mendapat angin segar atas kasus yang menimpanya.
"Eh, gue minta nomer pengacara lo dong. Siapa tahu gue butuh."
"Sip, sip. Nanti gue kirim ya."
Mereka berbasa-basi sejenak sebelum mengakhiri sambungan telepon.
“Aduh, anak Mama bajunya basah.” Hiranya geleng-geleng melihat kelakuan Zahra. Dia menggantikan pakaian Zahra dengan dress bunga-bunga.
"Siapa, Dek?" tanyaku saat Hiranya mengganti pakaian Zahra.
"Itu, Nashira. Udah skripsi dia. Hebat ya A, umur 22 udah mau sarjana. Adek kalah." Hiranya tersenyum kecut menyesali keputusannya cuti kuliah untuk melahirkan dan mengurus anak.
"Tapi kan Adek punya Zahra," kataku.
"Iya sih. Nyesel nggak nyesel. Kalau Adek udah lulus kuliah, kan bisa kerja, nggak perlu nungguin duit dari titisan dajjal itu." Hiranya bersungut-sungut.
Aku mengelus kepala Hiranya. "Nasi udah jadi bubur."
"Iya, tinggal beli ayam, cakwe, sama kedelai. Terus siram pakai kaldu kuning."
Aku tertawa pelan. "Tambahin kerupuk jangan lupa."
Hiranya ikut tertawa bersamaku. Tidak lama tawanya menggema, sebab mendung kembali menggayuti wajahnya. Hiranya mengeluarkan ponsel.
"Hampura, A, Adek cuma bisa nyusahin. Adek kirim nomer pengacara Nashira. Mana tahu butuh."
Ponsel di saku baju seragam PNS-ku bergetar. Satu chat WA dari Hiranya masuk. Nomer seseorang bernama Lawyer Mbak Dara.
"Aa simpan ya. Semoga Aldo nggak aneh-aneh, kataku."
"Adek mau beli bubur ah. Sore-sore gini enaknya makan bubur. Zahra juga suka. Ya kan, Nak?"
“Mau, bubuy!” Zahra berseru antusias.
Hiranya menguncir rambut Zahra dengan dua karet di sisi kanan dan kiri kepalanya lantas menggendong anak itu. “Kita beli bubur ya.”
Seminggu ini Hiranya sellau mengajak Zahra jalan-jalan sore ke depan gang. Tukang bubur gerobakan mangkal di sana. Aku membuka lemari, mengeluarkan kotak makan dari sana. Kukempit kotak-kotak makan itu sementara tanganku menarik keluar selembar uang bergambar Presiden Soekarno dari dompet.
"Nih."
"Apa ini, A?" tanya Hiranya.
"Duit lah, buat beli bubur."
"Tong atuh. Adek masih ada. Kan udah ambil duit Aldo. Duit suami, duit istri kan, A?"
"Kamu ambil berapa?"
"Tilu ratus."
Kupikir tiga ratus ribu. Untuk beli susu Zahra saja sudah habis.
"Kurang itu. Nggak sampai seminggu udah habis." Aku ngotot menyelipkan uang ke tangan Hiranya.
"Tilu ratus juta. Adek habisin uangnya Aldo di rekening."
Aku melongo. Pantas Aldi murka dan mau menjebloskan Hiranya ke polisi. Adikku itu santai saja tanpa merasa bersalah. Dia mengambil tote bag berlogo susu bayi, memasukkan tiga kotak makan plastik ke dalamnya. Dia berpamitan padaku.
Baru beberapa langkah Hiranya keluar dari dapur, kudengar teriakan, "Aa... Ada polisi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Simple Dream
RomanceDara, lawyer junior ini punya impian yang sederhana. Hanya mau hidup tenang tanpa ada orang yang nyinyir tentang kenapa dia belum nikah. Harfandi juga sama. Dokter Puskesmas ini bercita-cita memiliki rumah kecil yang akan dia huni dengan istri dan...