~Harfandi~
Bripka itu menyandarkan punggung ke kursi dengan tangan terlipat di dada.
"Jadi maunya Mbak-Mbak ini bagaimana?" tanya Pak Bripka santai.
"Klien saya harus dibebaskan dan keluarkan SP3* agar kasus ini tidak lanjut. Kalau nggak, saya mau laporkan Aldo sudah melakukan penelantaran ekonomi. Pak Harfandi saksinya. Beliau memberikan uang setiap bulan karena Mbak Hiranya tidak pernah diberi nafkah. Betul kan?"
Hiranya dan aku mengangguk bersamaan. Aku sempat bercerita mengenai masalah ini. Dara menjadikannya truf card.
"Ibu mau lapor balik?" tanya Bripka itu.
"Saya cinta damai. Bapak juga kan? Selain prinsip restorative justice, menangani kasus kecil begini nggak bikin Bapak naik pangkat." Senyum Dara terkembang.
"Tapi ada prosedurnya, Bu. Nggak bisa..."
Nah kan, aku paling malas kalau sudah begini. Pasti UUD, ujung-ujungnya duit. Hiranya memang adikku sendiri, pastilah aku akan mengusahakan yang terbaik agar dia dibebaskan. Hanya saja aku kurang suka kalau harus buang 'oli' untuk 'melicinkan'.
"Sejak kasusnya FS, nama institusi Bapak sudah jadi bulan-bulanan masyarakat. Bapak pasti tahu Mahkamah Agung mengurangi hukuman FS jadi pidana seumur hidup. Sudahlah, lebih baik kita sama-sama perbaiki citra penegak hukum." Dara tersenyum persuasif.
"Saya tanya komandan dulu." Bripka itu pergi meninggalkan kami.
"Bu Dara, berapa persen kemungkinannya bebas?" tanyaku waswas.
"Selain kasus pembunuhan, terorisme, dan perdagangan orang, kemungkinan lolosnya lebih dari 50 persen," ucap Dara yakin.
"Semoga ya, A. Adek udah kangen sama Zahra. Dia di rumah sama siapa?" Hiranya berucap frustrasi.
"Aa titip ke Bu Yayuk." Aku menyebut nama tetangga sebelah yang sering kurepotkan kalau ada kiriman paket.
"Suami Mbak Hiranya ada jenguk ke sini?" Dara bertanya.
"Iya, minta kartu ATM dan uangnya dibalikin. Aku bilang udah habis, padahal aku sembunyiin buat jaga-jaga."
Aku kaget dengan pengakuan Hiranya. Di mana dia menyembunyikan uang sebanyak itu, aku juga tidak punya bayangan.
"Menurut Bu Dara apa harus dibalikin?"
"Mbak Hiranya tahu berapa rupiah total aset suami?"
"Aku nggak tahu. Aldo juga nggak pernah terus terang berapa uangnya, dapat uang dari mana. Aku nggak pernah dikasih uang tunai. Cuma makan dan tempat tinggal. Susu Zahra kadang dibeliin, kadang nggak." Hiranya memulai keluh kesahnya.
"Mbak Hiranya nggak kerja?" tanya Dara yang dijawab gelengen adikku.
“Masih kuliah,” ucap Hiranya.
"Kerja, Mbak. Nggak enak tergantung uang suami."
"Tapi kan di agama, suami wajib menafkahi."
"Ya, betul. Di Undang-Undang Perkawinan juga tercantum kewajiban itu, tapi suami wajib menafkahi bukan berarti istri dilarang kerja kan? Lagipula di mana-mana lebih enak mandiri daripada dijajah."
Hiranya terpojok mendengar argumen Dara. Beruntung Bripka tadi masuk ke ruangan sehingga adikku tak terus-menerus mendapat tekanan.
"Kata komandan, perkara Mbak Hiranya akan di-SP3-kan. Malam ini Mbak Hiranya sudan boleh pulang."
"Alhamdulillah." Hiranya memeluk Nashira lalu aku. Dia mengucapkan terima kasih berulang kali pada polisi.
Bukannya aku tidak senang Hiranya bebas, senang sekali, tapi aku sudah membayar lawyer fee senilai tiga bulan gaji UMR Jakarta sampai kejaksaan. Masa kerjanya tidak sampai delapan jam? Tahu begitu dulu aku tidak usah jadi dokter saja.
***
1. SP3: Surat Perintah Penghentian Penyidikan
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Simple Dream
RomanceDara, lawyer junior ini punya impian yang sederhana. Hanya mau hidup tenang tanpa ada orang yang nyinyir tentang kenapa dia belum nikah. Harfandi juga sama. Dokter Puskesmas ini bercita-cita memiliki rumah kecil yang akan dia huni dengan istri dan...