~Dara~
"Mbak Dara!" Nashira berteriak menyambutku dari anak tangga teratas. Maltese putih dalam gendongannya meloncat, gesit menuruni tangga lalu menggonggong di depan kakiku.
"Sri, sit!"
Anjing mungil itu menurut. Ya, aku yang menamainya Sri sesuai nama eyang putriku yang menyebalkan. Nashira beli maltese ini empat tahun lalu. Aku diminta memberi nama. Daripada memilih nama untuk anjing, aku malah memberinya nama manusia buat lucu-lucuan. Aku berdalih agar lebih terdengar Indonesia, padahal biar bisa ngatain Sri itu anjing.
"Sri kangen sama Mbak," kata Nashira. "Kukira Mbak nggak datang."
Aku mengangkat Sri dari lantai lantas menggendongnya.
"Macet, Nash. Tahu sendiri jam pulang kantor."
"Iya, nggak apa." Nashira menggamit tanganku menuju ruang makan.
"Ghivan mana?" tanyaku melihat kondisi rumah sepi.
"Bentar lagi pulang. Masih otw katanya."
Meja makan panjang yang dulu sering menjadi tempat makanku, dipenuhi berbagai hidangan. Empal daging, ayam opor, sayur asem, tumis buncis jamur, kerupuk. Perutku yang sudah lapar sejak di jalan, kini meronta-ronta.
"Dar, Tante mau ngucapin terima kasih loh karena udah nolongin Nashira. Cuma, Pak Dahyar kok belum dipenjara ya?" Mamanya Ghivan mengambil nasi.
"Masih proses penyelidikan dan penyidikan, Tante."
"Lama dong. Bukannya bahaya kalau gitu? Nanti dia jahatin mahasiswi lain."
Aku tersenyum kecut. Fakta menggiriskan hati bagi warga negara yang bukan siapa-siapa. Laporannya bisa terkatung-katung.
"Nashira bisa minta SP2HP* sama penyidik," saranku.
"Aku yang minta?" tanya Nashira.
Mamanya Ghivan mengambilkan nasi beserta sayuran untukku.
"Ya, karena aku bukan kuasa hukummu."
Aku dan Nashira pernah berhubungan baik, tapi kalau urusan kerjaan, maaf-maaf saja. Harus tetap profesional. Dia nggak bayar sepeserpun, jangan berharap banyak dariku. Kalau mau minta tolong LBH perempuan saja.
"Apa karena aku nggak bayar ya, Mbak?" tanya Nashira sedih.
"Bukan masalah nggak bayar, tapi masalah nggak ada waktu luangnya," dalihku. Ya, waktuku juga mahal kan?
Aku menusuk paha ayam, niatnya mau memindahkan ke piring, tapi Mamanya Ghivan mengeplak tanganku.
"Kamu makan sayur aja, Dara. Diet."
Haaaa? Apa haknya mengaturku mau makan apa? Sabar, sabar. Meski dongkol, aku ingat kata-kata Chef Vindy Lee, "Slay dan anggunly."
Sabar, sabar. Semoga mamanya Ghivan cepat dipanggil Tuhan. Aku menerima piring berisi full tumbuh-tumbuhan dan mulai makan.
"Kamu nggak bisa toh bantuin adikmu?" tanya Mamanya Ghivan. "Tante kirain begitu lapor polisi, kasusnya langsung beres."
Kalau gini aja ngaku-ngaku Nashira itu adikku. Cih. Terus apa katanya tadi? Langsung beres? Dikira sulap?
"Bisa sih, kalau bayarannya cocok," balasku santai.
"Sekarang kamu begini ya?" Mamanya Ghivan menggosokkan telunjuk dengan jempol. Bukan bilang Saranghaeyo, tapi ngatain mata duitan.
"Dari dulu saya suka duit, Tante, nggak ada yang berubah," jawabku kalem.
"Tante tau, makanya minta Ghivan mutusin kamu. Ya, insting seorang Ibu emang nggak pernah meleset kan?"
"Ya nggak apa, Tante. Saya mau cari cowok kaya yang bukan anak Mami. Ghivan masih kurang kaya sih." Aku makan nyaris tanpa mengunyah. Benar dugaanku, pasti Mak Lampir ini cari keributan denganku.
"Kalau mau nikah itu jangan cari yang kaya, tapi cari yang setia. Nggak apa-apa dari keluarga sederhana."
"Cari yang sederhana, ditemenin sampai kaya raya terus ninggalin kita kabur sama yang muda ya, Tante?" tanyaku sarkas.
Muka mamanya Ghivan berubah pucat pasi. Kata-kataku menikam tepat di jantungnya, menyinggung sejarah keluarganya yang porak poranda akibat ulah pelakor. Namun aku nggak peduli. Siapa suruh jadi orang ngeselin.
"Makan saya sudah habis. Udah nggak ada yang mau dibahas kan?" tanyaku. Ya aku memang bukan perempuan paling anggun sejagad raya. Kejulidanku bisa ngalahin admin Lambe Turah. Jangan dipancing lah biar nggak kumat.
"Kasusku nggak bisa Mbak tolongin ya?" tanya Nashira sedih.
"Nanti juga ditangani polisi. Tunggu aja." Aku menenggak air minum.
Makanan di piring Nashira dan ibunya juga sudah habis. Aku nggak minat tinggal lebih lama di sini, takutnya malah perang mulut.
"Saya masih harus menyelesaikan pekerjaan," kataku. "Terima kasih jamuannya."
"Ya udah, Nash, dianterin itu Dara."
Mamanya Ghivan tetap duduk. Sejak diundang Nashira, aku mau nolak. Harusnya memang ditolak.
Aku dan Nashira sama-sama bangun dari kursi makan dan berjalan ke teras. Namun langkahku terhalang sosok jangkung yang mengenakan jaket kulit warna hitam dan menenteng helm full face. Rambutnya berantakan.
"Lho, Dara? Udah mau pulang?" tanya Ghivan.
***
1. SP2HP: Layanan kepolisian yang memberikan informasi kepada masyarakat sampai sejauh mana perkembangan perkara yang ditangani oleh pihak Kepolisian
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Simple Dream
RomanceDara, lawyer junior ini punya impian yang sederhana. Hanya mau hidup tenang tanpa ada orang yang nyinyir tentang kenapa dia belum nikah. Harfandi juga sama. Dokter Puskesmas ini bercita-cita memiliki rumah kecil yang akan dia huni dengan istri dan...