HARFANDI
Rumah Dokter Joko berdiri di atas lahan lumayan luas. Melalui pemindaian sekilas, mungkin total tanahnya saja sekitar 600 meter persegi dan berada di pinggir jalan raya yang dapat dilalui kendaraan dari dua arah. Aku cuma berdecak kagum dalam hati, berkhayal kapan bisa punya rumah sendiri di Jakarta. Harga properti kian meroket dari hari ke hari. Makanya berita-berita bilang bahwa Gen Z akan kesulitan punya rumah sendiri jika mengandalkan gaji bulanan yang tidak seberapa.
"Bi Asiah, buka pagar ya. Saya sudah di depan." Dokter Joko menelepon seseorang, sepertinya asisten rumah tangga.
Pintu samping terbuka. Perempuan berdaster berlari membuka pintu. Aku melajukan mobil memasuki garasi.
"Mampir dulu," ajak Dokter Joko saat mobilku berhenti.
Hujan masih turun deras, sesekali disertai guruh menggelegar keras. Beberapa titik digenangi air yang meninggi lekas.
"Sudah malam, Dok. Saya permisi," tolakku sopan.
"Baju kamu basah. Nanti malah sakit."
Betapa lemah hati ini. Sejak Papah meninggal, sangat jarang aku mendapat perhatian. Kedekatan dengan teman kampus memudar begitu kami sibuk bekerja. Teman-temanku dari keluarga yang lebih mapan, ada yang sudah menikah, ada yang pindah kerja ke luar pulau, dan ada yang lanjut program spesialis. Aku hidup sendiri. Praktis tidak ada yang menawarkan perhatian hangat.
"Nggak usah repot-repot, Dok." Mulutku masih saja rajin menolak karena tidak enak.
"Nggak repot. Kamu pasti belum makan kan?"
Ya memang belum, tapi soal makan, gampang dicari di kota metropolitan yang tak pernah sepi.
"Udah, masuk dulu. Takut banget. Saya nggak punya anjing kok," ucap Dokter Joko seraya melepas seat belt.
"Malam, Pak Dokter," Bi Asiah tersenyum menyambut majikannya.
"Ada makanan kan Bi?" Dokter Joko meniti undakan teras. Aku mengikutinya bersama Bi Asiah.
"Ada, rolade ayam, tumis jamur wortel, sama sop bola daging kacang merah, Pak Dokter. Mau dipanasin?"
"Ya boleh. Sama kasih baju buat Dokter...." Dokter Joko menoleh, "siapa nama kamu?"
"Harfandi, Dok."
"Baik, Pak Dokter." Bi Asiah baru saja akan berbalik, tapi Dokter Joko memanggilnya.
"Ini makanan kucing. Jangan lupa buat kucingnya Vania."
Aku melepas sepatu lantas menjajarkannya di depan pintu masuk. Memasuki ruang tamu, lengang menyergap. Setahuku Dokter Joko punya anak. Usianya sudah dewasa semua. Tidak heran jika suasana rumah beliau demikian senyap.
Meja konsol tak jauh dari pintu masuk mencuri perhatianku. Foto-foto Dokter Joko beserta keluarga atau rekan-rekannya dipajang dalam pigura beraneka ukuran.
Aku membungkuk mengamati foto Dokter Joko bersama seorang perempuan, kemungkinan besar istrinya, dan laki-laki serta perempuan muda. Dokter Joko serta perempuan di sampingnya mengenakan snelli. Laki-laki muda bertoga dengan lis hijau bertuliskan Jovan Marsudi, S.Ked. Sementara perempuan muda di sebelah Jovan mengenakan dress hitam. Tidak heran jika dokter beristri sesama dokter dan anak-anaknya juga dokter.
Fokus mataku bergeser pada foto lain. Perempuan bertubuh bongsor mengenakan toga advokat berfoto di depan gedung Pengadilan Tinggi DKI. Rupanya tampak familiar. Dia kan...
"Dara, anak perempuan sulung saya," ucap Dokter Joko.
***
Halo Guys, jangan lupa votes dan komen ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Simple Dream
عاطفيةDara, lawyer junior ini punya impian yang sederhana. Hanya mau hidup tenang tanpa ada orang yang nyinyir tentang kenapa dia belum nikah. Harfandi juga sama. Dokter Puskesmas ini bercita-cita memiliki rumah kecil yang akan dia huni dengan istri dan...