7b. Undangan Makan Malam

12.4K 1.4K 59
                                    

~Dara~

"Si anjir. Kenapa nggak sama lo aja? PNS kan idaman mertua. Gaji sih kecil, tapi tunjangannya selangit, terus susah dipecat.”

Aku menggeleng, malas meladeni percakapan mengenai gaji PNS. 

“Emang kerjaannya Harfandi apa?” Mbak Sherly masih kepo. 

“Dokter puskesmas.”

“Sama kayak bokap lo, dong. Udah sikat aja!” Mbak Sherly menyemangati. 

“Gigi kali disikat.”

“Eh, kalian cocok lho. Pas jalan gitu persis angka sepuluh.” Mbak Sherly mentertawakan fisik kami. Benar juga sih kalau dilihat. Harfandi kurus jangkung sementara aku termasuk tinggi untuk ukuran perempuan Indonesia tapi bentuk tubuhku memang bulat. 

“Body shaming tuh.” Aku mengingatkan. 

“Ya makanya lo diet dong. Perasaan makin lama gue lihat lo makin melembung aja. Takut gue kalau lo mendadak terbang.”

“Lo kira gue balon helium, Mbak?” Aku bersungut-sungut. “Lagian lo nyuruh gue diet, tapi nanyain snack mulu. Gue buang nih snack sama stoplesnya,” ancamku. 

“Jangan dong, mending diwarisin ke gue.”

“Gue belum mati, lo udah minta warisan,” cibirku. 

“Hibah deh hibah. Salah dikit doang. Udah, snack lo buat gue aja. Lo diet mulai detik ini.”

Salah sedikit katanya. Hibah dan waris saja nggak bisa membedakan. Jangan-jangan Mbak Sherly ini lulusnya nyogok. 

“Gue lihat sejak putus sama Giraffe, lo belum ada gandengan baru.”

Ini Mbak Sherly lagi kerasukan jin mana sih, nanya mulu dari tadi. Baterainya nggak habis-habis. 

“Giraffe di kebun binatang tuh,” jawabku asal. 

“Eh, nama mantan lo yang berondong itu siapa sih? Lupa gue. Maklum lah nggak penting.”

Udah tahu nggak penting kenapa dibahas? Bukan aku yang mulai. Namun aku menjawab juga, “Ghivan.”

“Nah, yang adiknya lo tolongin kemarin kan?”

Ya benar, Nashira adalah adik dari Ghivan, mantan pacarku. Kami putus gara-garanya ibunya. 

“He-eh.” Aku menjawab malas. 

“Apa lo mau balikan sama Ghibran?”

“Apaan sih, Mbak? Gibran mah anaknya Jokowi. Gue nggak mau jadi pelakor.”

“Eh, siapa sih namanya? Udah nggak penting, susah lagi namanya.”

“Ya udah, siapa suruh bahas? Gue jadi nggak konsen bikin LO.” 

Syukurlah legal opinion itu selesai juga. Aku mengirimkan ke email untuk diperiksa Mas Benedict. Setelah dia ACC, baru dikirim untuk klien. 

“Gue kan kasihan lihat lo jomblo. Enakan nikah tau, ada temen mikir dan berantem.” Mbak Sherly memanas-manasi. Setelah menikah dia memang rajin pamer kebahagiaan dengan Eric, suaminya. Foto profile WA-nya gonta-ganti dan lokasinya di tempat yang estetik pula. 

Sejatinya para jomblo bahagia-bahagia saja kalau mulut orang di sekitarnya nggak usil. Sekarang sudah pukul lima. Nggak biasanya pekerjaanku selesai hari ini. Aku meregangkan badan tanpa membalas ucapan Mbak Sherly. 

Ponselku berdering. Nama Nashira tertera di sana. 

“Kenapa, Nash?” Aku khawatir dosen titisan dajjal yang melecehkannya meneror. 

“Mbak, Mama ngundang makan malam.”

Ludah yang hampir masuk kerongkongan, tersasar sejenak ke tenggorokan. Aku jadi tersedak dan batuk-batuk. Mau apa nenek sihir itu mengundangku makan malam segala? Aku minum segalas air untuk menenangkan diri. 

“Makan malam? Yakin kamu, Nash? Kalian nggak merencanakan pembunuhan? Ada Mbak Sherly di sini. Dia tahu orang terakhir yang bersamaku siapa.”

“Ih, ya nggak lah. Mana mungkin aku gitu? Mama sama Mas Ghivan Cuma mau bahas kasusku aja kok. Mau ya Mbak?” bujuk Nashira. 

“Gimana ya…” Aku garuk-garuk kepala. “Ngobrolnya nanti di teras aja lah. Nggak usah pakai acara makan malam segala.”

Kalau aku terkapar dengan mulut berbusa gara-gara makananku ditambahi sianida kan nggak lucu ya. 

“Mama udah masak banyak.” Nashira terdengar sedih. 

“Kasih ke kucing aja lah,” tolakku terang-terangan. 

“Masa kasih ke kucing?”

“Kenapa? Takut kucingnya mati?” tanyaku curiga. 

“Ya bukan, tapi… Ya udah lah, datang dulu aja. Kita mau ngobrol biasa kok.”

Di depanku, Mbak Sherly mengangguk-angguk antusias. Senyumnya lebar pula. 

“Tapi aku bawa teman ya? Buat jadi saksi pembunuhan berencana.” Aku menawarkan solusi. 

“Ya udah deh, bawa aja.” Nashira menjawab pasrah.

Aku mengakhiri sambungan telepon dengan perasaan campur aduk lantas menatap Mbak Sherly. 

“Tanggung jawab lo, Mbak,” todongku. 

“Kapan gue hamilin lo?”

“Gara-gara lo gue jadi iyain undangan Nashira. Dia ngajak jalan-jalan.”

“Gue dengernya lo diajak makan malam deh, bukan jalan-jalan.”

“Jalan-jalan ke alam kubur,” jawabku ketus. 

Mbak Sherly tertawa terbahak-bahak, sepertinya puas menantikan aku mati muda di tangan ibunya Ghivan. 

“Itu mah derita lo.” Mbak Sherly dengan tidak bertanggung jawabnya keluar dari ruanganku. Sialan, padahal dia yang menyarankan aku menerima undangan Nashira.
***

1. Klien Retainer: Klien yang membayar bulanan kepada firma hukum untuk mengurusi segala hal yang berkaitan dengan hukum.

 Klien Retainer: Klien yang membayar bulanan kepada firma hukum untuk mengurusi segala hal yang berkaitan dengan hukum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Our Simple DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang