Kehadiran Hiranya dan Zahra di kontrakanku selama beberapa hari berpengaruh banyak. Terutama tingkah Zahra yang lucu selalu menghiburku. Kini, masa-masa sepi telah kembali. Aku dinas di Puskesmas dari pagi sampai menjelang sore. Pulang sebentar untuk ganti baju lalu pergi lagi ke mencari klinik yang butuh dokter jaga ganti. Daripada sepi sendirian di rumah, kupikir tidak ada salahnya menambah pemasukan.
Aku tergabung dalam grup chat beranggotakan puluhan dokter. Kami berkenalan saat mengikuti simposium menjadi dokter medical preneur tiga tahun lalu. Para dokter dituntut belajar sepanjang hayat. Sampai menutup mata, kalau mau tetap praktik, maka kami harus rajin mengikuti seminar dan simposium yang SKP-nya diakui IDI. Jarang-jarang ada simposium memberikan ilmu menjadi pengusaha di bidang medis, biasanya berkutat seputar pendalaman skill kedokteran. Aku yang saat itu ingin meningkatkan penghasilan, bersemangat mendaftar.
Aku tidak menyesal mengikuti sebab materinya daging semua dari dokter-dokter yang sudah berkecimpung menjadi pengusaha. Ada dokter yang membuka klinik ibu, anak, dan bersalin. Ada dokter yang membuka klinik sunat. Ada dokter yang membuka klinik kecantikan. Ada pula dokter yang membuka apotek dan beberapa dokter praktik.
Berbekal ilmu dan hasrat menggebu untuk cepat kaya, aku dan peserta simposium membuat grup chat. Isinya bertukar informasi apa saja. Tiga orang dokter bahkan langsung gas pol bekerja sama mendirikan klinik dan apotek. Modalnya besar mencapai miliaran rupiah. Aku belum ikut dulu, sebab cicilan rumahku saja belum lunas. Namun tak ada ruginya bergabung dengan grup chat ini. Banyak anggotanya mengirimkan lowongan dokter jaga ganti di klinik. Lumayan, jaga klinik selama 4 jam bisa mendapat Rp. 100 ribu. Pulangnya juga belum terlalu malam. Hanya saja lokasinya terkadang jauh dari kontrakanku.
Malam ini aku menggantikan dokter jaga di sebuah apotek dan klinik. Lokasinya di kompleks ruko. Pasienku cuma tiga. Keluhannya cuma batuk dan pilek akibat cuaca.
Pukul delapan malam, saat jadwalku sudah selesai, aku keluar dari apotek. Parkiran masih ramai padahal hujan turun dengan intensitas sedang. Guruh berbunyi pelan, bukan menggelegar seperti saat hujan deras.
Di sebelah kanan apotek, ada sebuah pet shop. Aku kepikiran membeli pelet untuk ikan-ikan hiasku. Kudorong pintu kacanya.
"Selamat malam, Pak. Cari apa?" tanya karyawati pet shop ramah.
"Ada makanan ikan buat ikan guppy dan neon tetra?"
"Rak deret kedua, Pak."
Aku bergegas mengukuti arah yang ditunjukkan tangan si Mbak. Pet shop ini menjual merek makanan ikan guppy yang biasa kubeli. Ocean Free Super Guppy. Meskipun judulnya Guppy, ikan neon tetraku juga menyukainya. Aku beli sekalian dua tabung silinder untuk persediaan.
Saat hendak membayar, aku melewati deretan rak pakan kucing. Seorang laki-laki berusia sekitar 50 tahun tengah berdiri menggenggam satu sak makanan kucing merek Whiskas dan satu lagi merek Royal Canin. Beliau dosenku dulu di FK.
"Selamat malam, Dokter Joko," sapaku sopan.
Beliau menoleh. "Ya, Mas?"
Dokter Joko mungkin melupakanku. Mahasiswanya kan banyak.
"Saya Harfandi, Dok, mahasiswanya dokter."
"Oh ya?" Dokter Joko membenahi kacamatanya. "Masnya dokter? Kok kerja di sini?"
"Nggak kerja di sini, tadi di sebelah, gantikan sejawat yang berhalangan hadir."
“Dokter jaga ganti?” tanya Dokter Joko.
“Betul, Dok.”
"Eh, kamu punya kucing?" Dokter Joko tiba-tiba bertanya.
Aku menggeleng. "Punyanya ikan."
"Wah, nggak bisa bantuin."
“Bantu apa, Dok?” tanyaku.
“Saya bingung.” Dokter Joko yang ahli bedah senior tampak frustrasi.
Pantas beliau bingung. Aku baru tahu kalau makanan kucing banyak mereknya. Selain dua merek yang beliau pegang, ada Purina, Friskies, Proplan, dan banyak lagi. Aku mengambil Purina dan Friskies, mencoba membaca tabel komposisi makanannya dan semakin pusing.
"Biasanya dikasih apa, Dok?"
"Kalau pas dititip di rumah saya, si Molly saya kasih nasi sama ikan asin. Mau-mau aja."
Aku menduga Molly adalah nama kucingnya.
"Ya kasih itu saja, Dok."
"Masalahnya itu bukan kucing saya. Itu punya anak perempuan saya. Dia ikut pemilihan None Jakarte. Jarang di rumah sekarang. Tadi bilang nitip beli makanan kucing tapi nggak bilang mereknya. Saya chat nggak dibalas."
Repot juga ya. Aku tidak berpengalaman punya kucing, tapi ingat perdebatan Hiranya dan Aldo tadi pagi. Ada gunanya juga mereka bertengkar di kontrakanku.
"Pilih ini saja, Dok." Aku mengambil sak makanan kucing bermerek Royal Canin. Harganya memang lebih mahal.
"Yakin kamu? Kucing anak saya nggak bakal mati kan?"
Kalau itu aku kurang tahu, tapi jangan sampai bilang begitu di depan dokter dan konsulen. Bisa panjang urusannya.
"Kucing adik saya makan ini dan sehat," kataku meyakinkan.
Dokter Joko mengambil sak makanan kucing itu, melihat-lihat kandungannya sebelum memutuskan.
"Yah, okelah."
Aku senang bisa membantu. Bersama Dokter Joko, kami membawa belanjaan masing-masing ke kasir. Kupersilakan Dokter Joko membayar duluan. Beliau keluar dari pet shop mendahuluiku.
Saat aku keluar, Dokter Joko masih di emperan toko, menenteng makanan kucing di tangan kiri sementara tangan kanannya menggulir layar ponsel.
"Hujannya makin deras," gumam Dokter Joko sendirian. Memang hujan yang tadi berintensitas sedang, sekarang menderas disertai gelegar guntur.
"Naik apa, Dok?" tanyaku.
"Supir saya nggak masuk. Tadi diantar dokter di rumah sakit. Sekalian pulang karena satu arah. Saya turun di sini mau beli makanan kucing. Sekarang nunggu Grab kok nggak dapet mobil dari tadi?"
"Saya antar saja, Dok," kataku berbekal rasa kasihan.
“Nggak ngerepotin?”
“Tidak, Dok.”
"Rumah saya dekat dari sini." Dokter Joko berujar semringah.
Malam ini aku mengendarai mobil, sebab letak klinik cukup jauh dari kontrakanku. Hujan turun dengan derasnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Simple Dream
RomanceDara, lawyer junior ini punya impian yang sederhana. Hanya mau hidup tenang tanpa ada orang yang nyinyir tentang kenapa dia belum nikah. Harfandi juga sama. Dokter Puskesmas ini bercita-cita memiliki rumah kecil yang akan dia huni dengan istri dan...