~Harfandi~
"Gue bakal tetap ambil case ini dengan atau tanpa persetujuan lo, Mas."
"Silakan, tapi jangan sampai waktu lo meng-handle klien utama kita terhambat klien yang ini."
"Nggak akan, Mas. Kerjaan gue sudah beres. Gue izin cabut duluan. Hiranya harus gue bebasin sekarang."
Aku dan Nashira bertukar tatap mendengar percakapan antara Dara dengan seorang laki-laki, mungkin atasannya. Budaya firma hukum berbeda dengan institusi pemerintah. Di Puskesmas, kami tidak menggunakan gue dan lo. Dara pasang badan ingin membela adikku, padahal kami tak saling kenal sebelumnya. Dara juga belum melihat foto Hiranya tapi sudah ngotot mau membelanya. Aku tersentuh.
Tadinya aku yakin akan ditendang karena menawar lawyer fee sampai setengahnya. Dara tertawa dan menyindir kami bukan tawar menawar di pasar ikan, tapi menegosiasikan lawyer fee. Tidak diingatkan pun aku sudah tahu. Masalahnya kondisi kantongku yang cekak tapi tidak tahu diri meminta bantuan hukum ke sini. Aku merasa bersalah karena Dara berdebat dengan atasannya gara-gara aku.
HAD Law Firm sangat mentereng, terletak di jantung pusat bisnis Jakarta Selatan. Kupikir Nashira mengerjaiku saat meminta Daihatsu Sigra yang kukemudikan memasuki parkiran gedung pencakar langit megah. Apa istilahnya? Prank?
Namun aku tahu Nashira serius saat memintaku menitipkan KTP pada petugas lobi untuk ditukarkan dengan kartu akses lift. Telapak tanganku dirambati hawa dingin saat membayangkan betapa dalam kocek yang harus kurogoh demi Hiranya. Aku bersyukur Dara bersedia membantu.
Aku otomatis berdiri ketika Dara keluar dari pintu pivot yang menyamarkannya dengan dinding. Sosoknya yang tinggi besar untuk ukuran perempuan menyelempangkan tas mungil dan membawa map.
"Saya perlu ketemu Hiranya untuk minta tanda tangan surat kuasa ya," ucap Dara.
"Nanti ketemu di Polda," kataku.
"Yuk." Dara memimpin kami di depan menuju lift.
Arlojiku menunjukkan pukul 5 sore. Jam segini puskesmas dan instansi penerintahan lain kecuali rumah sakit sudah tutup. Apakah kantor polisi masih buka?
"Parkir di mana, Pak?" tanya Dara.
"Di B3. Penuh banget tadi B1 dan B2."
"Saya parkir di B1. Kita konvoi saja ya," ucap Dara keluar duluan.
"Iya, Bu."
"Nash, menurut kamu tadi saya nawarnya kemurahan ya?" tanyaku sepeninggal Dara, masih merasa agak tak enak hati.
"Nggak apa, Bang. Yang penting duitnya halal, daripada bayar mahal pakai duit korupsi." Nashira mengeluarkan cengiran.
Aku ikut tertawa. Betul juga sih, meskipun aku harus menekan harga diri saat negosiasi. Sejak SMP aku biasa belanja di pasar. Tawar menawar harga bisa dibilang makanan sehari-hari. Aku bukan orang yang begitu mudahnya menghamburkan uang. Semua pemasukan dan pengeluaran kucatat secermat-cermatnya. Sisi positifnya, keuanganku sehat. Tidak pernah terjerat utang apalagi pinjol. Aku punya rumah meskipun mencicil. Mobil dan motor punya masing-masing satu unit. Selain tabungan uang tunai, aku punya logam mulia. Sisi negatifnya ya banyak. Aku tidak pernah nonton konser, jarang nonton bioskop, kalau pacaran seringnya di rumah. Aku memasak untuk mantan-mantanku. Namun mereka bilang aku pelit. Alhasil sebagian besar kisah asmaraku kandas dalam hitungan bulan.
Aku pernah membela diri sebelum diputuskan pacarku satu tahun yang lalu. Penghematan ini kulakukan agar kelak kami terhindar dari jeratan utang untuk menikah. Aku punya tabungan yang cukup untuk tiga tahun pertama kehidupan sebagai suami istri. Rencananya sambil menikah, aku juga akan menabung untuk biaya pendidikan anak sekaligus biaya pendidikan spesialisku. Aku memang bukan orang yang suka healing atau hedonis. Namun kekasih terakhirku yang juga dokter umum itu tak mau mengerti. Dia memilih memutuskan hubungan.
Katanya, menikah adalah ibadah, tetapi alangkah sulitnya menjalani ibadah yang satu ini.
***
Lalu lintas Jakarta sore hari pada jam pulang kantor jangan ditanya macetnya. Hampir setengah jam kami berkendara hingga tiba di kantor Polda Metro Jaya. Dara langsung menuju sel tahanan. Menurut Dara, tahanan di Polda sifatnya sementara, hanya 20 hari dan paling lama 40 hari selama proses penyelidikan dan penyidikan berlangsung.
Dara berbincang selama beberapa saat bersama Hiranya sambil menunggu petugas solat magrib. Aku menumpang solat di masjid Polda Metro Jaya yang ternyata cukup besar sekalian berdoa memohon agar Hiranya dibebaskan.
Selepas solat, aku kembali ke gedung Polda. Dara meskipun perempuan, jauh dari citra lemah tak berdaya. Malah menurutku dia ganas bagaikan singa.
"Kapan terakhir Mbak Hiranya berhubungan suami istri sama Aldo?" Di depan polisi berpangkat Bripka, Dara menanyakan hal sensitif pada Hiranya.
"Eh? Nggg..." Hiranya melempar pandang padaku, meminta tolong. Aku mengangguk saja memintanya menjawab jujur. "Satu malam sebelum keluar dari rumah Aldo, Pak."
"Nah, Bapak dengar sendiri, artinya Aldo dan Mbak Hiranya tidak pisah meja dan ranjang. Aldo dan Mbak Hiranya masih suami istri yang sah, belum bercerai."
Aku memperlihatkan foto saat Hiranya dan Aldo ijab kabul. Hiranya juga memperlihatkan buku nikah yang dia bawa.
Dara melanjutkan argumennya, "Harta Aldo adalah harta Mbak Hiranya juga. Nggak ada dalilnya istri mencuri uang suami."
Bripka itu menyandarkan punggung ke kursi dengan tangan terlipat di dada.
"Jadi maunya Mbak-Mbak ini bagaimana?" tanya Pak Bripka santai.
"Klien saya harus dibebaskan dan keluarkan SP3* agar kasus ini tidak lanjut. Kalau nggak, saya mau laporkan Aldo sudah melakukan penelantaran ekonomi. Pak Harfandi saksinya. Beliau memberikan uang setiap bulan karena Mbak Hiranya tidak pernah diberi nafkah. Betul kan?"
Hiranya dan aku mengangguk bersamaan. Aku sempat bercerita mengenai masalah ini. Dara menjadikannya truf card.
***
1. SP3: Surat Perintah Penghentian Penyidikan
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Simple Dream
RomanceDara, lawyer junior ini punya impian yang sederhana. Hanya mau hidup tenang tanpa ada orang yang nyinyir tentang kenapa dia belum nikah. Harfandi juga sama. Dokter Puskesmas ini bercita-cita memiliki rumah kecil yang akan dia huni dengan istri dan...