"Karena sesuatu yang istimewa bisa datang dari hal-hal sederhana."
÷÷÷
Jari-jari lentiknya menari lincah di atas tuts-tuts piano. Ia bersenandung, mencoba menciptakan nada-nada yang indah. Lantunan merdu suara piano kini memenuhi ruang keluarga di sore hari.
Jari-jari itu berhenti menari. Dengan riang ia meraih buku catatan kecil berwarna biru dan sebuah pensil dari atas piano, kemudian menggambar not balok dari nada-nada yang baru ia ciptakan.
Ia meletakkan lagi buku dan pensil ke tempat semula, lalu kembali menciptakan nada-nada indah selanjutnya. Baginya, bermain piano adalah kegiatan yang paling asyik untuk menyalurkan isi hatinya.
Sejenak ia menghentikan kegiatannya. Diliriknya foto-foto yang menggantung di sisi dinding di dekatnya, menampilkan dirinya waktu kecil hingga beranjak dewasa dalam berbagai perlombaan musik. Kemudian matanya beralih mengamati piala-piala yang tertata rapi di atas meja. Juara harapan 1, juara 3, dan juara 2.
Ia tersenyum datar ketika kembali menyadari bahwa sekian banyak perlombaan musik yang ia ikuti, ia tidak pernah sekali pun memperoleh juara 1. Namun ia tidak lagi sedih seperti dulu.
Selin beranjak dari kursinya, kemudian berjalan untuk mengamati piala-piala itu dari jarak dekat. Ia meraih satu piala yang paling penting baginya. Piala yang berukuran tidak terlalu besar dan berbentuk paling aneh dari yang lain, namun begitu berarti baginya.
Selin membawa piala istimewa itu ke kamarnya. Meletakkannya di sudut meja belajarnya, sementara ia mengambil kertas dari dalam tas sekolahnya, kemudian duduk di kursi belajar.
Ada 3 lembar kertas di tangannya saat ini. Selin menatap lembar kertas pertama dengan senyuman lebar. Dibacanya penuh minat text berukuran paling besar di kertas itu. Formulir Pendaftaran Ekstrakurikuler Musik.
Setelah puas menatap lembar pertama, Selin segera menggantinya dengan lembar berikutnya. Senyumnya masih terukir di bibir tipisnya. Ditatapnya mobil-mobilan beserta remote kontrol di atas meja yang bentuknya sungguh mengenaskan, kemudian kembali menatap lembar di tangannya. Ia mengangguk yakin, sebelum akhirnya mengisi Formulis Pendaftaran Ekstrakurikuler Robotik.
Selesai mengisi formulir, Selin menatap kembali piala di sudut meja belajarnya. Tulisan tangan seseorang pada stiker yang menempel pada piala itu membuat Selin memantapkan pilihannya untuk masuk ke ekskul robotik. Tulisan tangan yang berantakan itu membuat Selin tertawa pelan. Jelas sekali tulisan itu adalah tulisan tangan anak-anak.
Selin tidak mungkin lupa peran penting piala berbentuk tangan robot itu baginya. Betapa seseorang yang memberikan piala itu untuknya melalui Om Galang mampu menghibur serta menyemangatinya untuk tidak pernah menyerah saat itu.
Selin meraih piala itu. Ia meraba tulisan tangan seseorang di sana yang warnanya sudah mulai kusam. Tiba giliran Selin yang memberikan semangat untuk seseorang yang menuliskan ini untuknya:
Juara I
Lomba Main Piano***
Rintik-rintik hujan yang tiba-tiba saja berubah menjadi deras, membuat Selin berlari menuju gerbang sekolah yang jaraknya sekitar 200 meter dari halte bus.
Sejak semalam hujan turun hampir tanpa jeda, hingga menciptakan genangan di mana-mana. Selin pikir hujan tidak akan turun lagi ketika pagi harinya hanya menyisakan rintik-rintik. Namun rupanya prediksinya keliru. Hujan justru bertambah deras ketika ia turun dari bus.
Beberapa siswa tampak bernasib sama sepertinya, berlari terburu-buru untuk bisa segera berteduh di kelas. Sementara sebagian yang lain berjalan santai menuju gerbang dengan payung di tangan masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saga [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Teen FictionSaga "Yang kembali bermimpi karena senyummu." a novel by PIT SANSI __________________________________ Selin Ananta, cewek penuh semangat yang dijadikan objek balas dendam oleh Saga. Saga menduga Selin ada kaitannya dengan semua paket hitam yang dite...