Disleksia : 5

3.7K 551 47
                                    

Jadi hari ini, Ali dan Prilly kembali lagi sekolah seperti biasa. Dan seperti biasa lagi, Prilly datang duluan. Bedanya, sekarang ini Prilly sedang dengan Reno, atau mungkin harusnya Kak Reno.

Tadi, waktu Prilly baru sampai gerbang dan suasana sekolah masih sangat sepi, Reno ajak Prilly ke kantin. Dan Prilly mau.

"Lo udah sarapan?" tanya Reno begitu dia dan Prilly sudah duduk di kursi kantin.

"Belom sih kak, Mama sama Papa lagi keluar kota dan gue gak sempet kalo harus masak sarapan," katanya.

"Oke, kalo gitu gue pesenin makanan dulu. Dan satu lagi, udah gue bilang gak usah panggil kak!"

Dan Reno langsung pergi setelah itu.

Prilly diam saja melihat Reno yang berlalu dari hadapannya. Malah Reno tidak tanya dulu Prilly mau makan apa, kaya tau saja dia apa yang Prilly mau.

"Yaudah lah ya. Gak mungkin juga kalo sampe dia tiba-tiba pesen seblak buat sarapan,"

Gak lama, karena memang kantin belum terlalu ramai. Reno sudah kembali tidak sampai 5 menit dengan nampan yang dia bawa.

Ada dua mangkok, yang tidak tau isinya apa, juga dua gelas teh hangat.  - karena Prilly lihat asapnya mengepul -

Sambil tersenyum Reno memberikan pada Prilly mangkok yang ternyata isinya bubur ayam, bagus.

"Gue kira tadi lo bakal pesenin gue seblak," gurau Prilly sambil menyendokan sambal ke bubur nya.

Well, makan tanpa pedas itu ibarat duduk tanpa pantat buat Prilly.

"Gak segila itu kali gue."

"Hehehe, makasih Ren." kata Prilly.

Reno tersenyum mengangguk, dan Prilly lanjut makan lagi. Hening, tidak ada yang bicara.

Prilly sebetulnya mau tanya, tentang Ali. Secara, Reno itukan sudah kelas 12, jadi sudah pasti tau tentang Ali.

Maksud dia, tau tentang kenapa Ali dijauhi. Juga, kenapa dia sendiri menjauhi Ali. Tapi Prilly sadar diri, dia dan Reno kenal belum lama dan tidak dekat. Pasti agak susah kalo dia tanya langsung ke inti nya.

"Nanti pulang sekolah mau bareng?" tanya Reno begitu mereka sudah di depan pintu kelas Prilly.

Dia ngotot antar Prilly sampai kelas, selesai makan tadi, meski Prilly juga sudah menolak. Toh, Prilly sudah lumayan lama disini dan dia juga tau jalan. Ini sekolah gak seluas Monas.

"Gak usah Ren, nanti gue ngerepotin." kata Prilly.

"Gak kok, kalo ngerepotin mana mungkin gue ajak."

"Terserah nanti deh ya,"

Prilly kemudian masuk kelas dan Reno yang juga ikut berlalu. 5 menit lagi bel, dan disana Ali sudah duduk manis sendirian.

"Li, lagi apa?"

"Lagi duduk." kata Ali.

Prilly melihat hp nya, tidak ada notif sama sekali dari Danu. Padahal, Prilly sudah spam chat sejak tadi malam.

"Li, kalo cowok di spam chat sama pacarnya tapi gak di bales, kira-kira kenapa ya?"

Ali menoleh, "Dia gak punya kuota,"

"Terus?"

"Abis batre,"

"Kan ada powerbank,"

"Gak punya powerbank,"

Prilly menghela nafas, dia harus berfikiran positif. Biar banyak sahabatnya bilang sering lihat Danu makan di cafe sama perempuan, biar katanya sering liat Danu bonceng perempuan, biar Danu juga tidak kasih kabar.

"Kalo nggak, ya punya pacar baru."

***

Ali duduk di balkon kamarnya, dengan kanvas lukis dan penyangga didepannya. Dia bayangkan wajah perempuan itu, yang dia sayang. Kadang Ali sampai menangis kalau ingat dia, saking rindunya.

Untung saja sepintas wajahnya masih Ali ingat, sampai dia bisa lukis diatas kanvas dengan kuas dan cat air. Angin yang bertiup kena wajah Ali, buat remaja cowok itu memejamkan mata. Sambil juga dia bayangkan wanita itu disini.

Tangannya tidak diam, mulai melukis seperti apa yang ada di bayangannya. Melukis cantiknya wajah yang sangat dia rindu itu.

"Ali kangen." gumamnya serak, sambil tak terasa ternyata dia menangis.

"Ali,"

Ali buru-buru mengusap air mata dia, lalu senyum pada Nandi seakan dia tidak habis menangis. Tapi Nandi tidak bisa dibohongi, begitu melihat apa yang dilukis Ali, dia langsung tau sebab nya.

"Udah, Ali gak usah banyak pikirin dia. Ali selalu sedih kalo inget dia." kata Nandi, sambil tangannya hendak mengambil lukisan Ali yang masih basah itu.

"Jangan Ayah, biar gimanapun Ali sayang dia."

Nandi menghela nafas kasar, keras kepala Ali ini. Sama seperti perempuan itu, susah diberi tau.

Akhirnya Nandi keluar dari kamar Ali, meninggalkan Ali yang masih lagi duduk di balkon. Memandang lukisan nya itu, sambil merasakan angin yang lembut.

Kalau bisa, Ali pilih dia tidak pernah ada. Maksudnya, tidak pernah dilahirkan ke dunia.

***

Reno masih duduk di ruang tamu rumah Prilly, akhirnya tadi Prilly setuju dia antar pulang ke rumah.

"Eh, kirain yang dateng Ali." kata Mama Prilly melihat Reno duduk di ruang tamu sementara Prilly sedang ganti baju.

Reno yang mendengar nama Ali langsung berubah raut muka nya, tapi tak terlalu kentara. Takut Mama Prilly curiga.

"Emangnya Ali sering kesini ya?" tanya Reno.

Mama Prilly tersenyum, "Kalo libur, Ali sama Prilly suka main sepeda bareng. Kebetulan kan rumah Ali gak jauh dari sini,"

Reno mengangguk paham, dia pamit pulang setelah mengobrol lagi sebentar dengan Prilly. Tapi dia tidak pulang langsung ke rumahnya, dia mencari rumah Ali setelah menanyakan alamatnya pada Mama Prilly tadi.

Dan akhirnya dia sampai, di depan rumah minimalis bertingkat, warna nnya di dominasi warna putih. Dia tersenyum kecut, hampir mau pergi sampai dia lihat sosok pria paruh baya keluar dari rumah.

Tanpa Reno mau, mereka berdua beradu pandang. Tangannya mengepal dan dia langsung saja memalingkan wajah, mau pergi.

Nandi masih diam mematung, antara ingin menghampiri atau memilih diam saja disana. Perasaannya tidak tentu melihat Reno disana, rasanya dia rindu tapi juga ragu.

Dengan gemetar Nandi berjalan menuju motor Reno, ingin melihat dari dekat rupa pemuda itu. Wajah Reno masih datar bahkan cenderung keras ekspresinya. Seperti orang marah, tapi matanya tidak bisa berbohong kalau dia sama rindu.

Tangan Nandi yang masih gemetar itu terangkat ingin menyentuh pipi Reno, jika saja Reno tidak memalingkan wajahnya enggan disentuh Nandi.

"Reno,"

"Papa."

#TBC

***

Hallo, mohon maaf kuota ku habis wkkwkkwkwkwkwkwwk ):

*gampangbangetguengomong):

DisleksiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang