Panggilan

51 5 3
                                    


     Obrolanku dengan Mbak Sani terpotong oleh dering ponselnya. Dengan enggan, diperiksanya notifikasi yang muncul di layar ponsel. Jarinya bergerak, sepertinya mematikan panggilan telepon itu.

     Ia tersenyum saat menyadari bahwa aku memperhatikannya.

     "Siapa Mbak? Kok dimatikan?" tanyaku ingin tahu.

     "Nggak apa-apa, Jeng. Biasa, Ibu saya di kampung," jawab Mbak Sani. Raut wajahnya berubah murung.

     "Kok, malah dimatikan?" aku terheran-heran.

     "Ah, nggak apa-apa kok, Jeng Wita. Ibu saya itu kalau menelepon bisa lima kali sehari. Kadang, apa yang sudah diceritakan kemarin, hari ini diceritakan lagi berkali-kali. Padahal kondisi saya kadang sedang mencuci, sedang masak, sedang jualan seperti sekarang ini. Kan jadi repot saya Jeng." Mbak Sani menjelaskan.

    Aku terdiam. Ingatanku melayang pada ibuku yang sudah tiada. Ingin sekali kukatakan pada Mbak Sani bahwa mungkin ibunya dulu juga direpotkan olehnya saat ia masih kecil. Namun tentu ibunya tak merasa keberatan. Sang Ibu tidak mungkin bersikap sebagaimana Mbak Sani mematikan panggilan telepon barusan. Tapi kucoba untuk menahan mulutku.

     "Ibu di kampung sama siapa, Mbak?" tanyaku lagi.

     "Ada bulek saya, Jeng. Beberapa kerabat juga tinggal tak jauh dari rumah Ibu," sahut Mbak Sani.

     "Ooh, syukurlah kalau begitu. Jadi tidak terlalu kesepian ya Mbak."

     Mbak Sani mengangguk. "Iya. Tapi ya.... Namanya orang tua seusia itu Jeng. Katanya kan butuh perhatian lebih banyak dari sebelumnya ya."

     "Betul, Mbak."

     "Ya, kadang saya kasihan juga sih Jeng. Tapi mau bagaimana, saya kan jauh di sini," Mbak Sani menarik napas panjang. "Eh, kok jadi ngomongin ibu saya. Ayo Jeng, pilih yang mana gamis syar'inya? Cakep-cakep lho ini. Modelnya lagi hits. Kayak yang suka dipakai sama para sosialita atau selebgram itu."

     Aku tertawa mendengar promosinya. Sebenarnya aku belum membutuhkan gamis baru. Tapi orang ini berjualan untuk membantu keuangan suaminya yang baru saja diberhentikan dari perusahaan yang mulai gulung tikar.

     "Ini warnanya cerah, cocok betul dipakai Jeng Wita. Bahannya adem dan ringan banget lho Jeng...." Kata-kata Mbak Sani terhenti karena ponselnya kembali berdering.

     "Dari ibunya lagi Mbak? Diangkat saja Mbak Sani, kasihan," desakku.

     Ia mengangguk, lalu sedikit menyingkir dariku untuk mengangkat telepon itu.

     "Halo Bu.... Apa? Oh, ini Bulek? Kenapa, Bulek?" Wajah Mbak Sani tampak kaget. Sesaat kemudian pandangannya menerawang. Wajahnya pucat. Tangannya yang memegang ponsel terkulai.

     Aku berhenti memilih-milih gamis. Firasatku mengatakan sesuatu yang buruk sedang terjadi.

     "Ada apa, Mbak Sani?" tanyaku hati-hati.

     Alih-alih menjawabku, Mbak Sani mulai menangis. "Ibu saya, Jeng.... Ibu saya...."

     Ya Allah, ini pasti buruk.

     "Ibu saya...." kata-katanya terputus oleh tangis yang semakin keras. Dalam bisiknya ia katakan ibunya baru saja menghembuskan napas terakhir.

     "Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun." Aku merangkulnya. Ponsel ditangan Mbak Sani meluncur jatuh. Layarnya tak akan pernah lagi menampilkan panggilan telepon dari Sang Ibu.

flash fictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang