“Ayah, sepatu Iki bolong, jari Iki kelihatan semua. Iki nggak mau sekolah.” Dudi terngiang-ngiang ucapan Rizki tadi pagi.Ani, istrinya, tersenyum membujuk. “Iki sekolah pakai sandal dulu ya. Bu Guru tidak akan marah kok.”
“Nggak mau,” Rizki merajuk. “Kalau begitu Iki nggak usah sekolah TK. Nanti langsung masuk SD biar bisa pakai sepatu baru.”
Dudi tertawa. “Ki, hari ini Ayah belum punya uang. Tunggu hari Sabtu besok, pasti Ayah belikan sepatu baru buat Iki. Iki mau yang merah kan? Seperti yang kemarin?”
“Enggak, Iki mau yang biru!”
“Boleh, besok Sabtu kita ke pasar. Tapi Iki harus sekolah yang rajin dulu. Tidak membolos.”
Iki setuju.
Dudi membelokkan sepeda motornya memasuki halaman sebuah bangunan besar, tempat industri roti skala rumahan.
Dudi menyetorkan hasil penjualan hari itu pada Bu Rini. Roti yang dibawanya terjual habis. Tak sabar ia menunggu saat gajian Sabtu besok. Ia ingin segera membawa Rizki ke pasar.
“Dud, sini,” panggil Bu Rini.
“Saya Bu,” sahut Dudi.
“Uang yang kamu bawa ini palsu!” seru Bu Rini. Ditunjukkannya selembar seratus ribuan.
Dudi terkejut. “Mana Bu? Astaghfirullah!”
“Kamu dapat dari mana?” Tanya Bu Rini.
“Oh, iya Bu, saya ingat, tadi ada ibu-ibu di jalan yang menukarkan uang. Dia menukar seratus ribuan dengan uang receh. Katanya untuk naik angkot. Mungkin ini uang yang dia tukarkan tadi.”
“Kenapa kamu nggak cek dulu?”
“Ya... Soalnya mirip sekali Bu,” ujar Dudi. Ia menerawangkan uang itu ke arah lampu. “Lalu bagaimana Bu?” tanyanya cemas.
Bu Rini menghela napas. “Yah, terpaksa, gajimu minggu ini aku potong Dud.”
Dudi terdiam. Wajah Iki menari-nari di depan matanya.