Aku dan Dewa bergegas menyusuri jalan kecil menuju tempat kost kami. Jalan setapak itu panjang dan gelap, kiri kanannya dipagari kebun pisang yang rimbun.“Eh, kayak ada bau-bauan ya?” tanyaku pada Dewa.
Dewa mengangguk. Tapi ia tidak berkata sepatahpun. Langkahnya semakin cepat.“Kayak bau singkong rebus. Aduh, jadi makin lapar,” kataku lagi.
“Ssst, jangan ngomong sembarangan!” sahut Dewa dengan suara rendah.
“Apanya…”
“Kamu ingat cerita Bu Asih tadi pagi?” sela Dewa.
“Ooh, yang katanya penduduk sekitar lagi ribut sama penampakan hant…”
“Iya,” sela Dewa lagi. “Bau-bauan kayak gini, ada yang bilang pertanda kehadiran mereka.”
Aku menatap Dewa skeptis. “Bau singkong rebus? Bukannya enak? Kamu takut ya, Wa?”
Dewa mendengus. Tapi aku merasa ciut juga. Cerita semacam itu terdengar seperti omong kosong jika dibicarakan di siang hari bolong. Tapi dalam kegelapan seperti ini, lain lagi rasanya. Jantungku mendadak berdebar kencang. Aku tahu jin dan setan itu ada. Tapi aku tak pernah ingin mendapat kesempatan untuk melihat mereka. Tidak sekarang, atau selamanya.
Lalu bunyi itu terdengar. Kiiit… Kiiit…
Aku dan Dewa saling berpandangan.“Apaan tuh?” tanyaku pelan.
“Nggak usah dilihat,” sahut Dewa.
Aku sepakat. Tengkukku terasa kaku dan dingin. Suara itu kian dekat. Kiit… Kiit… Apakah itu salah satu makhluk dari alam lain yang sedang jadi bahan pembicaraan warga kampung?
“Mas…” suara bening perempuan memanggil dari jauh.
Dewa berlari mendahuluiku. Kurang ajar!
“Kalau suaranya jauh, artinya dia dekat Don!” seru Dewa. Aku tak begitu mengerti maksudnya, tapi kupercepat juga lariku.
Rumah kost kami mulai terlihat di ujung kebun pisang ini. Kurang dari lima puluh meter lagi, tapi seakan berkilo-kilo meter jauhnya.
“Mas…” Suara itu mendekat, begitu pula bunyi berdecit yang mengiringinya.
Dewa dan aku tak berminat menoleh.
“Mas Dewa!”
“Dia tahu namamu,” aku mengumumkan.
“Sialan,” bisik Dewa. Kulihat peluhnya bermunculan di jidat.
Terengah-engah kuraih pagar hitam rumah kost kami. Di sana cukup terang karena ada lampu jalan. Kami menoleh menatap ujung jalan setapak yang gelap. Tak ada apapun di sana. Kami segera menutup pagar dan bergegas melintasi halaman. Tiba-tiba pagar kembali terbuka dengan suara berkelontang kasar.
“Desi!” seruku saat kukenali sosok yang baru saja melewati gerbang dengan sepeda reyotnya. Desi adalah anak ibu kost, masih kelas satu SMP.
Kiit kiit… Suara sepeda tua itu sama seperti suara yang kami dengar tadi.
“Mas Dewa dan Mas Doni jahat! Desi panggil-panggil dari ujung jalan tadi nggak ada yang dengar. Desi kan takut lewat situ sendirian! Awas ya, Desi laporin Ibu!”
Dewa cengar-cengir. “Maaf ya Des, tadi kami pada kebelet, sakit perut. Jadinya buru-buru, sampai nggak dengar Desi manggil-manggil.”
Dewa dan aku ngeloyor pergi. Dari jendela kulihat Bu Asih tengah menonton sinetron. Ia mengulurkan tangannya ke meja, meraih sepotong singkong rebus dari piring.