“Ayah, Ayah, aku mau sayap! Aku mau sayap!” Dio melompat-lompat di depan kasir.
“Oke, sayap dua, Mbak,” kataku pada mbak penjaga kasir.
“Aku nggak mau sayap, aku paha bawah!” Putri menarik-narik lenganku. “Ayah, aku maunya paha bawah! Sama kentang!”
“Paha bawah satu, Mbak. Sayap satu. Kentang satu. Dada dua ya. Nasinya dua saja.” Aku menyebutkan pesanan lengkap pada Mbak Kasir.
Mbak Kasir itu tersenyum melihat Kei, si bungsu yang masih berusia delapan bulan dalam gendonganku.
“Minumannya apa Pak?” tanyanya.
“Air mineral dua,” jawabku.
“Aku mau jus jeruk,” Putri merengek.
“Jus jeruk satu, Mbak,” aku menambahkan. Kuambil lembaran uang dari dalam dompet. Kei, yang kugendong di depan dada menghadapku, menyambar uang itu dan meremasnya.
“Kei, Sayang, jangan ya Nak. Ayo, kita bayar dulu makanannya,” bujukku. Kuulurkan uang itu pada Mbak Kasir.
“Bisa bawanya tidak, Pak?” tanyanya. Ia mengamatiku dengan tatapan ragu.
“Bisa Mbak, gampang,” sahutku.
Maka akupun berjalan membawa nampan penuh berisi makanan, dengan menggendong Kei di depan dada, dan Dio serta Putri berlarian di sekelilingku. Istriku? Tadi aku menyuruhnya berbelanja sendirian, dan menawarkan diri untuk mengasuh anak-anak sambil makan. Istriku menerima dengan senang hati. Ia mengelilingi supermarket dengan troli, sementara aku dan anak-anak mencari makanan di food court.
Kami menuju sebuah meja kosong di sudut ruangan. Dio dan Putri masih melompat-lompat dengan gembira. Mudah saja ternyata mengurus tiga anak. Bila berbelanja bulanan bersama anak-anak, istriku seperti sebuah alarm otomatis. Tak henti-henti ia mengingatkan anak-anak untuk tidak melakukan sesuatu. Kakak, tidak boleh pegang itu, nanti pecah. Abang, jangan lari-lari, nanti mengganggu pengunjung lain. Tidak ada acara beli mainan ya, kan minggu lalu kita sudah beli. Tidak boleh jus jeruk, terlalu banyak pemanisnya. Dan berbagai larangan lain.
“Kakak, Abang, ayo duduk. Kita makan,” aku mengomando.
Putri melesat memilih kursi untuk ia duduki. Dio, masih melompat-lompat, mengikuti kakaknya. Jika sedang gembira, Dio memang seperti itu, berjalan sambil melompat-lompat kecil. Hal yang wajar bagi seorang anak kecil, menurutku. Namun kemudian terjadilah semua itu.
Dio menyenggol sikuku saat aku hendak meletakkan nampan. Dan dalam satu kedipan mata, jus jeruk Putri terguling lalu tumpah di atas meja.
Aku terpana. Dio terdiam. Putri, yang melihat jus jeruknya tumpah, mulai meraung sedih.Kutarik napas panjang. Dari sudut mataku kulihat seorang ibu muda yang sedang menyuapi anaknya memandangi kami dengan prihatin. Kurasa ia bertanya-tanya dalam hati, pertanyaan yang sama seperti yang ingin kuucapkan. “Bunda ke mana sih? Lama amat belanjanya.”