Sekilas, laki-laki tua itu tak berbeda dari kakek-kakek manapun yang sering datang ke taman yang luas dan teduh ini, untuk berolah raga atau sekadar berjalan-jalan. Tinggi dan kurus, badannya sedikit membungkuk. Rambutnya sudah memutih dengan sempurna. Beberapa kali ia tersenyum ramah pada orang-orang yang berpapasan dengannya. Sama sekali tak ada yang aneh pada dirinya. Kecuali satu hal, ia mendorong sebuah kursi roda yang kosong.Laki-laki itu tersenyum padaku.
Aku balas tersenyum. “Kakek sedang berjalan-jalan?”
Kakek itu menggeleng. “Saya sedang menunggu istri saya. Setiap hari saya selalu mendorong dia berkeliling taman. Dia senang sekali melihat-lihat pepohonan dan orang-orang yang berolah raga. Kalau di rumah terus, ia sering merasa bosan, uring-uringan.” Kakek itu terkekeh.
“Ooh, begitu,” aku ikut tersenyum.
Ia lalu pamit dan berlalu dari hadapanku. Akupun melanjutkan langkah dengan mendorong stroller Rere. Gadis kecilku itu sudah tertidur, jadi sebaiknya aku membawanya pulang.
Aku baru saja berbelok di ujung taman ketika kulihat sepasang suami istri yang usianya tampak sedikit lebih tua dariku, menyeberangi jalan dengan wajah cemas.
Sang istri menghampiriku dan bertanya dengan panik, “Mbak, lihat kakek-kakek pakai kaus putih dan celana cokelat tidak?”
“Aduh, saya kurang memperhatikan, Bu,” jawabku jujur.
“Dia mendorong kursi roda, Mbak,” suaminya menambahkan.
“Oh, iya! Tadi saya berpapasan dengan kakek itu di taman. Katanya dia sedang menunggu istrinya,” sahutku.
Kedua orang itu saling bertukar pandang. Si suami lalu bergerak, berjalan tergesa memasuki taman.
“Memangnya ada apa Bu?” tanyaku pada sang istri.
“Itu bapak mertua saya, Mbak. Kami sekeluarga baru pindah dari Jakarta. Bapak itu sudah pikun. Ibu mertua saya sudah meninggal dua bulan lalu, tapi Bapak masih saja mencari-cari Ibu. Dalam ingatannya, Bapak masih ingin membawa Ibu jalan-jalan setiap pagi dengan kursi rodanya.”