“Bundaaa, ayo temani aku main ayunan,” Qia merengek untuk yang kesejuta kalinya.“Sebentar, Sayang,” jawabku, untuk yang kesejuta kalinya juga.
“Dari tadi Bunda bilang sebentar terus,” teriak Qia marah.
“Ya Tuhan, Qia!” Aku tersulut.
Dengan kesal kupandangi dia. Sepasang matanya yang bulat memandangku terkejut. Aku langsung luluh dan menyesal telah menghardiknya.
“Qia, maafkan Bunda,” aku berjongkok agar sejajar dengannya. “Bunda sedang sibuk sekarang. Qia main dulu sama Bibi ya, sebentar lagi Bunda menyusul.”
Qia tidak menjawab. Ia beringsut pergi.
Setengah jam kemudian, aku menutup laptop dan keluar mencari Qia. Kulihat Bibi sedang menyetrika.
“Qia mana, Bi?”
“Tadi bukannya sama Ibu di dalam?” Bibi terlihat bingung.
“Tadi saya suruh dia main sama Bibi,” sahutku.
Jangan-jangan Qia pergi keluar rumah seperti yang sudah-sudah. Pernah kutemukan ia bermain dengan anak-anak kampung di luar komplek, sedang menikmati es potong yang entah terbuat dari apa. Setelahnya ia batuk selama seminggu.
Aku melongok keluar pagar, tak ada tanda-tanda keberadaan Qia atau teman-temannya. Kucari ia di kamarnya, di kamar mandi, di seisi rumah, tetapi Qia tidak ada.
Dengan gundah aku berjalan ke taman samping rumah. Kulihat sesuatu teronggok di depan sana, di rumput hijau, tak jauh dari ayunan. Gumpalan kain berwarna kuning cerah. Seperti warna baju Qia. Perasaanku mendadak tak enak. Aku berlari mendekati onggokan kain itu.
Ternyata benar. Itu Qia. Tergeletak begitu saja seperti seonggok kain di atas rumput.
“Qia?” panggilku.
Ia tak bergerak. Aku mengguncang bahunya. Dingin. Kucoba mengangkatnya. Bagian belakang kepalanya basah saat kuraba. Warna merah segar segera berlumuran di telapak tanganku.
“Qia!”
Tepat di dekat kepala Qia kulihat sebuah batu besar ornamen taman, yang juga berlumur darah. Mungkinkah Qia tadi jatuh dari ayunan dan terbentur batu itu?
“Qia… Qia, bangun Nak…” Kutepuk-tepuk wajahnya.
Tak ada reaksi. “Qia, Sayang…”
“Bi…! Bibi! Tolong, Bi!” aku menjerit memanggil Bibi. Ya Tuhanku!
“Qia, Qia, tolong jawab Bunda, Nak…”
Tak ada jawaban. Mulutnya tertutup rapat seperti kelopak matanya. Ini sungguh tidak mungkin. Aku tak percaya Qia tega mendiamkanku. Air mataku tumpah di wajahnya. Tidak mungkin Qia-ku pergi, bukan? Itu mustahil!
“Qia… Buka matamu, Nak… Ayo kita main… Bunda sudah selesai, Sayang… Ayo Qia, bangun… Kita main, Nak… Qia…”