17. Orang tua Budi

49.7K 2.3K 29
                                    


Nafas Budi terengah, ia berlarian sambil mengedarkan pandangan ke segala arah untuk menemukan sosok Ani. Tetapi hasilnya nihil. Budi pun jadi heran, apakah Ani bisa berlari secepat itu. Jelas-jelas tadi ia langsung mengejarnya tanpa menunggu waktu lama untuk berpikir, mana mungkin ia gagal untuk menyusul langkah Ani.

Lagi-lagi Budi hanya bisa mengacak rambutnya dengan kesal. Ia melangkahkan kakinya tak tentu arah, rasa bersalah serta rasa takut kini membungkus hati dan pikirannya. Rasanya Budi tak dapat berpikir dengan jernih saat ini, selain rasa bersalah, hal yang lebih mendominan adalah perasaan takut, takut bila Ani berubah membencinya, takut bila Ani tak akan kembali pulang.

Budi duduk disalah satu bangku yang berada di pinggir trotoar, entah sudah berapa lama ia duduk disitu. Yang jelas tadi ia sudah berjam-jam berjalan berputar-putar di tempat-tempat yang pernah ia datangi bersama Ani. Tidak begitu jauh jika berkelilingnya dengan menaiki motor namun jika ditempuh dengan jalan kaki rasanya cukup lumayan juga, lumayan jauh dan capeknya.

Entahlah, Budi tidak berpikir untuk mencari Ani dengan memakai motornya, ia lebih memilih berjalan kaki dan sesekali berlari dengan meneriakan nama Ani. Budi juga sama sekali tidak menghiraukan tatapan-tatapan banyak orang yang berpapasan dan melihat kekacauan dirinya saat ini. Mungkin ini bentuk hukuman Budi untuk dirinya sendiri.

Budi beranjak dari duduknya. Jalanan sudah sangat sepi, entah jam berapa sekarang. Mungkin sudah tengah malam. Perlahan ia berjalan pulang.

*

Pagi harinya..

Tok tok tok..

Dengan langkah tergesa, Budi berlari menuju pintu rumahnya. Senyumnya mengembang, Ani nya pulang. Pikir Budi.

Tetapi senyum sumringahnya luntur seketika, berganti dengan bibirnya yang sengaja Budi lengkungkan ke bawah. Untuk apa pagi-pagi Ivan datang ke rumahnya,sungguh tak ada kerjaan.

"Ada urusan apa?" tanya Budi dengan gaya ogah-ogahan.

Ivan tak langsung menjawab karena heran melihat Budi yang berantakan, rambut acak, kantung mata gelap dan tampang khas orang stres.

"Ekhm" Deheman Budi berhasil membuat Ivan fokus pada pertanyaan Budi sebelumnya.

"Eh maaf, ini. Saya cuma mau ngasih ini ke Ani." Ivan menyodorkan sebuah amplop warna cokelat berukuran besar pada Budi.

Budi mengerutkan keningnya, tapi tangannya tetap menerima amplop itu dari tangan Ivan.

"Tunggu, bukannya semalam kamu datang ke sini? Kenapa tidak kamu kasihkan saja kemarin sekalian."

Kini kening Ivanlah yang berkerut heran mendengar ucapan Budi. "Kemarin? Saya bahkan baru kembali pulang dari Bali tadi subuh. Seminggu ini saya ada kerjaan di sana, mungkin semalam yang datang ke sini cuma keponakan saya Windi sama supir yang biasa mengantarnya kemana-mana." penjelasan Ivan sontak semakin membuat rasa bersalah dan penyesalan Budi semakin menggunung.

"Ayo masuk dulu, tidak enak kita dari tadi ngobrol sambil berdiri di depan pintu." Budi mengajak Ivan masuk dan Ivan mengikutinya dari belakang.

"Mau minum apa? Kopi atau teh?" tawar Budi.

"Tidak usah repot-repot, saya hanya ingin mengantarkan hak Ani saja. Ngomong-ngomong Ani kemana? Tidak kelihatan dari tadi?"

"Ani sedang pergi, apa kamu tidak menghubunginya sebelum datang kemari?"

"Bagaimana saya bisa menghubungi, Ani kan tidak punya ponsel. Ponsel yang saya pinjamkan kemarin sudah ia kembalikan sebelum saya berangkat ke Bali. Padahal saya ikhlas memberikan ponsel itu padanya tapi ia bersikeras menolaknya. Dia hanya meminjamnya sebentar untuk itu." Ivan menunjuk amplop yang tadi ia bawa dan sekarang ada di meja depan Budi.

Mendadak Jodoh (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang