Bab 2

168 10 10
                                    

"Ketidaktulusanmu, entah kenapa membuat hatiku merasa tidak nyaman."

🌸🌸🌸🌸🌸

Teriknya matahari seolah-olah ingin membakar ubun-ubun murid kelas XII IPS 2. Pasalnya, siang rabu kelabu hari ini, mereka disuguhkan dengan olahraga yang ada dimata pelajaran terakhir.

"Ini guru, gak ada niat buat mindahin jam pelajaran olahraga apa! Jam pertama kek, bukan jam terakhir kayak gini," kesal Elina yang berbaris dibelakang Kanaya. Kanaya yang mendengar kekesalan sahabatnya hanya menggelengkan kepala maklum.

"Terima nasib aja Li, jadi murid 'kan harus manut sama jadwal pelajaran yang dikasih," ucap Kanaya yang suaranya hampir seperti bisikan, karena di depan sana, Pak Miko yang notabennya guru olahraga mereka sedang mengabsen muridnya.

"Tapi kalo setahun kayak gini terus, bisa gosong muka gue, Nay."

Kanaya terkekeh mendengar penuturan Elina yang cukup lebay baginya. "Kita udah kelas duabelas. Gak mungkin juga sampai setahun kita olahraga siang-siang gini, Li."

Percakapan Kanaya dan Elina berakhir sampai disitu, karena pluit kebanggaan Pak Miko berbunyi nyaring di tengah lapangan yang cukup sepi. Mereka semua diberi arahan agar berlari mengelilingi lapangan futsal sebanyak lima putaran.

Keringat mulai membanjiri wajah Kanaya yang telah melakukan lari empat putaran, napasnya terengah-engah. Tangannya terulur menyapu keringat yang terus membasahi wajahnya karena panasnya cuaca hari ini, ditambah juga rasa lelah karena berlari memutari lapangan. Kanaya memutuskan untuk berjalan saja. Toh, Pak Miko yang mengawasi mereka sedang berjalan ke arah kantor guru untuk mengambil bola futsal.

"Nay," panggil seseorang dengan suara baritonnya. Kanaya yang kepalanya tertunduk sambil telapak tangannya bertumpu di dengkul kakinya, mendongakkan kepala saat ada yang memanggil namanya.

"Eh, Dimas."

"Nih." Dimas mengulurkan tangannya yang terdapat sapu tangan berwarna biru. Kanaya menatap bingung wajah Dimas yang tersenyum padanya.

"Untuk?"

"Gue gak tau kalau lo masih se-lemot ini," ucap Dimas menggelengkan kepalanya, tangan kirinya terulur menggenggam lembut tangan Kanaya dan memberikan sapu tangan itu ke telapak tangan Kanaya yang menatap Dimas dengan pandangan yang bingung. "sapu tangan ini buat ngusap keringat lo."

Kanaya akhirnya mengerti. Saat dirinya ingin mengucapkan terima kasih, cowok itu sudah melanjutkan larinya yang tertunda. Kanaya tersenyum melihat telapak tangannya yang terdapat sapu tangan dari sosok pria tampan seperti Dimas.

Ibarat kata, setelah melalui kesengsaraan akan ada kebahagiaan yang datang. Kanaya melanjutkan larinya sambil mengusapkan keringat dengan sapu tangan pemberian Dimas.

*****

Kanaya dan Elina berjalan sambil bergandengan tangan melewati koridor yang ramai oleh murid-murid yang berhamburan, karena bel pulang sekolah sudah berbunyi lima menit yang lalu. Keduanya bersenandung menyanyikan lagu yang sama. Setelah sampai di parkiran, sepasang sahabat itu berhenti dan saling melempar senyum saat Elina membalikkan badannya ke arah Kanaya.

"Mau pulang bareng gue gak Nay? Mumpung gue bawa kendaraan sendiri," tawar Elina yang mengangkat sebelah alisnya.

Kanaya menggeleng pelan sambil mempertahankan senyumnya. "Gak deh kayaknya Li. Aku pengen balik ke kost-an dulu. Baru berangkat kerja. Lagian rumah kamu dengan tempat tinggalku 'kan beda arah."

"Huftt! Naya... Naya... gak pa-pa kali, lagian gue udah lama gak main ke kost-an lo," desah Elina yang memandang Kanaya dengan mencibikkan bibirnya.

Satu hal yang sangat Kanaya suka dari Elina, ekspresi menggemaskan yang saat ini ditujukan untuknya. Membuat sahabatnya kesal adalah hiburan tersendiri baginya, tapi Kanaya memang bersungguh-sungguh menolakan ajakan Elina karena takut akan merepotkan sahabatnya yang sangat Kanaya sayangi.

"Tapi—"

"Takut ngerepotin gue? Sans aja kali Nay, lagian kalo lo gak sibuk, rencananya gue mau main ke kost-an lo sebentar. Gue juga udah dapat izin dari mama gue kok," tutur Elina yang membuat senyum Kanaya mengembang, karena beberapa jam ke depan ia akan menghabiskan waktu bersama sahabatnya. Hingga percakapan keduanya terhenti karena bunyi klakson sebuah mobil.

Tin... Tin

Sebuah mobil yang berhenti tepat di samping Kanaya dan Elina membuat mereka berdua mengernyit heran. Masalahnya, hari ini Elina membawa kendaraan sendiri bukan di jemput seperti kemaren-kemaren.

"Siapa tuh?" tanya Elina yang memandang mobil berwarna putih mengkilap itu dengan pandangan mengamati.

"Aku gak tau."

"Masuk," ucap seorang pria saat kaca dari balik kemudi memunculkan sesosok pria tampan yang memandang Kanaya.

Kanaya memandang sahabatnya yang berdiri tepat di sampingnya. Kanaya paham betul situasinya sekarang ini, banyak para kaum hawa yang memandang ke arah Arka dengan pandangan penasaran.

Apalagi melihat Elina yang tanpa sadar melotot kaget dan bibirnya yang terbuka sedikit, membuat Kanaya mati-matian menahan tawa karena melihat ekspresi konyol sahabatnya.

Kanaya menyenggol lengan Elina dengan lengannya, membuat sahabatnya itu memandangnya dengan pandangan bertanya. "Kenapa Nay?"

"Aku pamit pulang ya. Soal main ke kost-an, lain kali aja ya, Li."

"Jadi, pangeran tampan itu jemput lo? Kirain mau jemput gue, lo hutang cerita sama gue ya Nay. Yaudah sana, masuk mobil gih, kasian pangeran gue nunggu lama."

Kanaya mengangguk. "Bye, Li."

"Bye, Kanaya."

*****

"Belok kiri, Kak."

Terdengar arahan dari Kanaya di dalam mobil yang sangat sunyi. Tidak ada percakapan yang keluar dari bibir kedua makhluk berbeda jenis kelamin itu. Hanya terdengar beberapa arahan yang diucapkan Kanaya dan dituruti pria itu tanpa mengeluarkan suaranya sedikitpun.

"Berhenti di depan rumah yang ada pohon mangganya, Kak."

Mobil putih milik Arka berhenti tepat di depan rumah sederhana –rumah kost- milik Kanaya.

"Mau mampir, Kak?" tawar Kanaya memandang Arka yang tak mengalihkan penglihatannya pada rumah sederhana yang di tempati Kanaya.

"Gue ada di sini karena di paksa Mama gue, jadi gue gak mau lama-lama di sini sama lo. Kalau gak ada urusan lagi , lo bisa keluar karena gue mau balik ke kantor," ucap Arka dengan nada yang terdengar dingin di telinga Kanaya, nada bicaranya juga sangat tak bersahabat saat berbicara dengannya.

Kanaya tersenyum kecut dan membuka suaranya lagi untuk berbicara, "Kalau Kakak terpaksa ngelakuin ini, lebih baik gak usah, Kak. Lagian aku bisa naik angkot atau di antar Elina daripada harus sama Kakak yang terpaksa, btw makasih banyak atas tumpangannya. Aku permisi."

Kanaya segera keluar dari mobil Arka dengan perasaan sakit di hatinya. Ia tak suka ada orang menolongnya atau apapun itu yang dilakukan atas dasar terpaksa. Kesannya seperti ia yang membebani orang tersebut padahal Kanaya bisa melakukan apapun tanpa bantuan dari orang. Semuanya yang ada pada diri Kanaya, sudah berubah saat orangtuanya pergi dan menyisakan ia sendiri di sini.

🌸🌸🌸🌸🌸

Thanks for read guys

Voment nya jangan lupa 🙇. Terimakasih buat kalian yang setia baca LdP 💕

Sekian dulu ya, sampai jumpa Rabu depan 💙 👋🙋

04 April 2018
Binuang, Kalimantan Selatan.

Salam Cinta
@tasyaauliah_

Luka dalam Perjodohan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang