PROLOG

19 3 4
                                    

Prang!

Dua kali.

Prang!

Tiga kali.

Prang!

Empat kali.

Aku masih menghitung dalam hati. Berapa banyak barang lagi yang akan dilemparkan. Aku diam, menunggu, didalam kamarku. Sendirian. Ini bukan kali pertama terjadi. Bahkan aku sudah mengingat diluar kepala apa yang akan terjadi setelah ini. Perlukah ku beri tahu?

Brak!

Pintu kamarku terbuka. Oh, sepertinya tidak perlu ku beri tahu. Kalian bisa melihatnya sendiri. Mami ada disana. Dengan air mata yang masih mengalir membasahi kedua pipinya. Mami menarik tanganku, membuatku bangun. Masih dengan diam, kakiku terseok-seok mengikuti langkah kaki Mami yang panjang-panjang. Mamiku sangat tinggi, bahkan bingkai pintu rumah ini dapat membuat kepalanya terbentur bila tidak menunduk.

Sesampainya di ruang tamu, Mami melepaskan tanganku. Aku berdiri diam, sedikit ketakutan. Tidak! Aku ketakutan! Sangat ketakutan. Mataku acak memindai ruangan, tidak ada orang lain, padahal rumah ini biasanya ramai. Rumah ini adalah rumah kakekku. Ayah dari ayahku. Kenapa hari ini begitu sepi? Bahkan para tetangga tidak ada yang keluar rumah. Pintu depan dibiarkan terbuka lebar. Seorang asisten rumah tangga yang aku tidak ingat siapa namanya berdiri di sebelah mami, dalam pelukannya, adikku yang cantik sedang tertidur pulas tidak mengetahui apa yang sedang terjadi.

Brak!

Aku terlonjak, mami memukul bingkai pintu dan kini menyandarkan kepala dan kedua tangannya disana. Asisten rumah tangga itu mendekati mami dan berbisik sambil mengusap bahu mami yang bergetar. Aku diam, isak tangis mami masih terdengar.

"Hancurkan saja sekalian. Biar kamu puas."

Pelan aku mendengar suara ayahku. Rupanya dia ada di luar rumah. Mengamati mami yang menangis semakin histeris dan memukul-mukul bingkai pintu. Ayah tidak pernah berteriak bila marah. Dia hanya akan berkata-kata. Kecuali ketika aku malas belajar karena lelah bermain, ayah akan membuang semua buku pelajaran yang ada di atas meja ke lantai, menggendongku secara terbalik seperti sekarung beras lalu membawa ke kamar mandi untuk memasukkan diriku ke dalam bak mandi. Jangan tanya betapa takutnya aku saat itu. Aku bahkan memohon-mohon agar ayah mau memaafkanku dan membatalkan niatnya. Untung saja mami ada disana dan membantu memohon pada ayah.

"Lebih baik aku mati!"

Teriakan mami menarik perhatianku. Asisten rumah tangga itu tampak panik. Dengan menggoyangkan badannya karena sepertinya adikku mulai merengek dari tidurnya dia berusaha menenangkan mami.

"Mbak, tenang mbak. Malu sama tetangga. Diomongin baik-baik ya. Mbak tenang dulu."

Bukan sekali ini aku melihat mami marah dan hampir setiap hari mami selalu marah, terutama padaku. Pernah suatu hari mami memarahiku karena aku demam. Mungkin memang salahku. Aku menyukai ice cream, segala macam es aku suka. Tapi aku tidak bisa minum air yang kurang bersih atau perasa buatan. Melihat teman-temanku dan mendengar ajakan mereka untuk membeli es karena cuaca saat itu sangat panas, aku mengikuti mereka dan sorenya aku batuk, pilek disertai demam. Mengetahui itu mami sangat marah, dia memarahiku dan mencubiti paha serta lenganku dengan sangat keras. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi membeli es ditempat itu. Secara terang-terangan.

"Ifo, kamu ikut ayah."

Ayah sudah berdiri di depanku, tangannya terulur, aku menerima uluran tangannya tanpa suara. Entah kemana hilangnya suaraku. Ayah membawaku ke pintu depan, melewati mami yang masih menangis di bahu asisten rumah tangga. Oh, ingatkan aku untuk mengingat namanya, karena hanya mengurus adikku, aku tidak banyak berinteraksi dengannya. Lalu, siapa yang mengurus diriku? Jawabannya diriku sendiri dan para tante serta om, adik-adik ayah.

Kami, aku dan ayah, memutari rumah, melewati sisi samping berjalan kaki hingga kami sampai di taman komplek dengan kolam ikan besar berbentuk lingkaran yang terdapat tugu batu bola besar di tengahnya. Ayah mengajakku duduk di pinggir kolam. Aku masih diam, begitupun ayah. Bukannya tidak mau bicara, aku hanya tidak tahu kalimat apa yang pantas diucapkan di saat seperti ini. Sudahkah aku bilang kalau usiaku masih 3 tahun kurang beberapa bulan? Bila tadi belum, saat ini sudah ku beri tahu. Aku bahkan belum bisa membaca judul acara televisi yang sedang ku tonton. Jadi aku memilih diam, menunggu ayahku menyampaikan tujuannya membawaku kesini.

"Ifo, mulai besok kamu manggil mami, ibu, ya?"

tbc

---------

Hai, aku membawa cerita baru. Entah mengapa. wkwk

Aku mau jujur.

Sebenarnya saat ini aku sedang merasa sedikit. Ya, sedikit sedih dan isi cerita ini sudah mengganggu kepalaku sejak beberapa tahun terakhir lalu entah kenapa hari ini aku ingin sekali mulai mencoba menulisnya. hahaha

Masih prolog, semoga kalian yang tidak sengaja terdampar di cerita ini bisa menikmati dan terhibur dengan cerita ini. 

jangan lupa tinggalkan vote dan comment =)

Happy reading :*

LAMENTATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang