"Mengapa kau masih disini?"
Wanita dengan pakaian ketat itu tampak menahan amarahnya. Kalau saja aku tidak dalam rengkuhan Marvel sudah dipastikan dia akan melesak menyerangku. Setelah menatap diriku dengan pandangan bermusuhan, wanita itu berlalu dari hadapan kami masih dengan sikap angkuhnya.
Suara bantingan pintu mengembalikan kewarasanku. Secepat kilat aku menarik diri dari rengkuhan lelaki di sebelahku.
"Apa yang kau lakukan pak?"
"Sejak kapan aku menjadi bapakmu?"
Marvel dengan santainya kembali ke meja kerjanya. Bisa ku dengar dia terkekeh pelan.
"Anda menertawai saya?"
Tanyaku semakin kesal.
"Kenapa kamu selalu berprasangka buruk kepadaku, Ifo?"
"Aku tidak berprasngka."
"Lalu, menurutmu. Apa yang baru saja kamu lakukan?"
"Kenapa jadi aku yang ditanya disini? Bukankah aku yang bertanya duluan?"
"Ugh..kenapa kamu jadi cerewet sekali hari ini, sayang?"
"Aku tidak..." mataku membulat mengulang kata terakhirnya. "Jangan sembarangan memanggilku sayang!"
Marvel terkekeh sembari bangkit dari duduknya. Aku mundur satu langkah begitu sadar dia berjalan mendekat.
"Bukankah tadi sudah jelas."
Katanya begitu jarak kami hanya tersisa satu langkah kecil. Tubuh Marvel sedikit membungkuk agar wajah kami sejajar. Saat ini posisiku tidak memungkinkan untuk bergerak karena terhalang dinding di belakang dan kananku serta pot hiasan ruangan di sisi kiriku.
"Aku suka ketika kamu begini, sangat menggemaskan."
Bisiknya disertai hembusan nafas di tengkukku. Bisa kuhirup aroma lelaki ini. Harum. Aku bergidik, hampir saja mendesah kalau saja akal sehatku tidak mengambil alih. Melihat Marvel menegakkan badannya disertai seringai diwajahnya membuatku secara cepat mendorong tubuhnya menjauh. Tubuh Marvel mundur kebelakang dan aku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk keluar dari ruangan berbahaya ini.
****
Ponselku berdering.
Sudah berkali-kali panggilan itu aku abaikan dan sepertinya tidak ada kata menyerah dari si penelepon kali ini. Benar, panggilan yang sudah satu tahun ini selalu aku abaikan. Bilang aku pengecut. Apakah kalian siap berada di posisiku? Kalian sanggup bersikap baik-baik saja disaat jelas-jelas kalian tidak baik-baik saja?
Satu tahun ini aku sudah berusaha berdamai dengan masa lalu. Namun, setiap mengingat nama itu, bukan hanya kenangan baik yang teringat. Aku sudah memaafkan, sungguh. Tapi, memaafkan bukan berarti melupakan-kan?
"Nanti kalau ada seseorang yang jahat sama Ifo, kamu harus janji sama ibu untuk memaafkan mereka ya?"
"Kenapa kita memaafkan mereka? Kalau kita gak sengaja bikin salah saja mereka tidak pernah memaafkan."
Ibu terkekeh mendengar protesku, namun senyum lembut itu tidak pernah luntur dari wajahnya.
"Kalau Ifo berbuat sama seperti yang mereka lakukan. Lalu apa yang membedakan Ifo dengan mereka?"
"Kenapa harus beda?" tanyaku tidak mengerti.
"Memang Ifo tidak mau berbeda?"
"Kenapa ibu selalu balik bertanya sewaktu aku bertanya?" kali ini aku makin pusing, tidak mengerti apa yang ibu mau.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAMENTATION
RomanceSLOW UPDATE, PRIVATE ACAK, 18+ bukan angka untuk menunjukkan adanya adegan ena-ena. Tapi menunjukkan konten yang bisa dicerna oleh usia tersebut. Kedewasaan pembaca dalam menyikapi sebuah kisah dalam cerita ini sangat diharapkan. Jadi, dewasa sebelu...