P.S. Masih banyak narasi.
Tempat itu ramai, tampak kerumunan orang, suara orang bercakap-cakap sedikit banyak terdengar di sana-sini memecahkan konsentrasi, mereka menunggu dengan sabar, walau masih antrian panjang yang ditemui.
Aku memijat pangkal hidungku, rasanya mulai panas disini.
"Nomor panggilan 112. Di loket 2."
Suara bernada konstan itu kembali terdengar. Kali ini aku sedikit menelengkan kepala, berusaha melihat layar di tengah ruangan yang tertutup tiang penyangga bangunan.
Masih 248 lagi.
"Nomor panggilan 113. Di loket 3."
Panggilan itu kembali terdengar. Aku melihat kertas kecil di tangan kiriku. Masih menunggu dengan sabar sampai angka 360 yang disebut.
"Ma, aku lapar."
Seorang anak di sebelah kananku mulai mengeluh pada ibunya.
"Ini uang, kamu beli makanan sama minum di tempat makanan itu."
Sang ibu, mengarahkan sang anak untuk pergi ke penjual makanan yang ada di pojok ruangan, seolah sudah memahami kalau akan ramai pembeli bila dia berjualan di sana.
"Sendirian aja mbak?"
Setelah anaknya pergi dengan bermodalkan uang 50.000 si ibu mengajakku bicara.
"Iya Bu."
Aku tersenyum, mencoba ramah.
"Nomor urut berapa Mbak?"
"Tiga ratus enam puluh Bu. Kalau ibu?"
"Wah, masih lama ya. Saya nomor 309 mbak." Si ibu terkekeh.
Aku hanya membalasnya dengan senyum lalu kembali fokus ke depan karena si anak sudah kembali dengan membawa bungkusan yang aku yakini sebagai makanan.
****
Setelah hampir tiga jam menunggu akhirnya nomorku dipanggil. Menunggu kurang dari 10 menit di pendaftaran akhirnya aku mendapat nomor antrian, lagi.
Setelah mendapatkan instruksi yang cukup jelas dari bagian pendaftaran aku berjalan ke arah Utara mencari poliklinik kesehatan jiwa.
Bukan. Bukan karena aku sedang dalam kondisi sakit. Aku malah sedang meminta surat rekomendasi kalau aku sedang dalam kondisi sehat. Terbebas dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif.
Setelah sampai di lorong paling ujung, aku menemukan tulisan bergantung berbahan kayu berwarna hijau bertuliskan "KESEHATAN JIWA". Di depan poliklinik itu sudah berjejer orang-orang yang mengantri giliran dipanggil.
Aku memperhatikan kertas kecil berisi data diriku dan nomor urutnya. Tiga puluh lima. Melihat banyaknya orang yang duduk di depan poliklinik itu, aku mengasumsikan bahwa antrianku masih panjang.
Saking banyaknya, mereka bahkan rela duduk berjajar di lantai. Melihat antrian itu membuatku mencari tempat duduk paling strategis. Tidak terlalu jauh dan tidak terlalu penuh.
Setelah memutar sekali aku memutuskan untuk duduk di salah satu bangku yang kosong di depan poliklinik kesehatan kulit dan kelamin.
Aku cenderung sering melamun bila berada di suatu tempat sendirian. Menyadari hal itu aku memilih duduk di tempat terdekat dan tertenang karena tidak ingin melewatkan panggilan dari perawat di dalam.
Bangku yang kududuki sedikit berderak menerima berat tubuhku. Hal itu menarik perhatian seseorang yang duduk di salah satu bangku depanku.
Kami tidak berhadapan, dia menolehkan kepala, melihat aku yang tengah berusaha mencari posisi nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAMENTATION
RomanceSLOW UPDATE, PRIVATE ACAK, 18+ bukan angka untuk menunjukkan adanya adegan ena-ena. Tapi menunjukkan konten yang bisa dicerna oleh usia tersebut. Kedewasaan pembaca dalam menyikapi sebuah kisah dalam cerita ini sangat diharapkan. Jadi, dewasa sebelu...