Satu dari sekian banyak orang yang baik padaku adalah nenek dari ayahku. Beliau selalu menjagaku dari amukan orang-orang di sekitarku. Bahkan tidak takut memasang badan di depanku untuk memberikan perlindungan walaupun badannya telah rapuh dimakan usia.
"Ifo! Apa yang kamu lakukan?!"
Teriakan itu berasal dari belakang punggungku dan terdengar semakin mendekat.
Bukannya bersembunyi aku malah tetap berdiri ditempatku, menyaksikan Sesil, saudara sepupuku yang masih menangis dan semakin keras seiring suara langkah di belakangku.
"Dasar anak nakal!"
Kalimat itu diucapkan bertepatan dengan sengatan di daun telingaku. Santi, bibiku menarik daun telingaku ketika melihat anaknya yang masih menangis dengan wajah yang memerah.
"Kamu ini sukanya bikin ribut! Anak nakal! Kamu apakan Sesil, ha?!"
Aku tidak menjawab, bingung dan kesakitan. Kini mataku menatap Sesil yang mulai menyeka wajah dan hidungnya. Dia mulai tenang tapi masih diam saja menyaksikan aku dimarahi ibunya. Saudara yang lebih tua dua tahun di atasku itu kembali sibuk dengan boneka beruangku yang bahkan belum selesai aku mainkan.
"Kamu diam saja?!"
Sengatan itu semakin keras, membuatku berjengit, tapi tidak menangis. Bukannya aku kuat, tapi sekuat tenaga aku menahan lelehan air mata itu keluar karena sejak tadi bendungan di mata ini susah sekali aku tahan.
"Dasar. Tante bilang kamu jangan nakal kalau main sama Sesil."
Amarah tanteku berakhir dengan pukulan di pantatku sekali. Tante Santi meninggalkan kami setelah mengelus puncak kepala Sesil dengan sayang.
"Kamu kok diam saja tadi?"
Tanyaku setelah meredakan nyeri di pantat dan daun telinga.
"Bunda lagi marah ya aku diam."
"Aku-kan tidak menganggumu dari tadi. Kenapa kamu diam saja waktu ibumu memarahiku. Kamu bisa bilang kalau kamu menangis karena ada serangga besar yang jatuh dari langit-langit kena kepalamu. Sudah ditolongin malah jahat."
Balasku pelan sembari melangkahkan kaki meninggalkan Sesil seorang diri. Aku tidak suka bermain dengan orang yang berbuat jahat pada orang lain. Ibu selalu bilang berbuat baiklah pada orang lain dan hindari orang yang jahat padamu karena tandanya dia tidak mau berteman denganmu.
Baru setengah jalan aku kembali bisa mendengar suara isak tangis Sesil dan kali ini teriakan Tante Sinta kembali terdengar. Sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan aku segera berlari kabur dari rumah.
****
Tanpa terasa langkah kaki membawaku ke rumah Mak Win, nenek ayahku. Beliau memiliki rumah mungil yang tidak terlalu jauh dari rumah kakek yang kutinggali.
Masih mengatur nafas setelah berlari, aku memasuki pekarangan rumah Mak Win yang cukup gersang karena hanya beberapa tanaman saja yang dibiarkan tumbuh. Suara pagar yang berderak cukup keras ketika kudorong membuat Mak Win keluar dari rumahnya.
"Ifo? Kamu kenapa nak?"
"Maaakkk!"
Teriakku sembari berlari menubrukkan badanku ke tubuhnya yang mulai kurus tanpa menjawab pertanyaannya.
"Dimarahin lagi?"
Aku tersenyum, kembali menahan air mata yang nyaris jatuh. Ibu selalu bilang kalau aku harus kuat dan tidak boleh cengeng, tidak boleh lemah.
"Ayahmu kemana?"
Seolah mengerti keresahanku, nenekku ini kembali melanjutkan pertanyaannya. Aku heran betapa hebatnya dia, bisa mengetahui jawaban dari pertanyaannya tanpa perlu aku beri tahu. Mungkin semasa sekolah beliau adalah orang yang sangat pintar.

KAMU SEDANG MEMBACA
LAMENTATION
RomanceSLOW UPDATE, PRIVATE ACAK, 18+ bukan angka untuk menunjukkan adanya adegan ena-ena. Tapi menunjukkan konten yang bisa dicerna oleh usia tersebut. Kedewasaan pembaca dalam menyikapi sebuah kisah dalam cerita ini sangat diharapkan. Jadi, dewasa sebelu...