One/Four

263 33 9
                                    

Bulan ketiga tahun ini,

Selamat datang musim semi!

Siang hari yang cerah dengan warna bunga-bunga bermekaran. Hal itu, berhasil mengukir senyuman di bibir setiap warga kota. Tentu saja mereka antusias. Tiga bulan lalu, kami hampir tidak bisa membedakan antara siang dan senja. Musim dingin di kota kami memang terlampau ekstrem. Kini, sinar matahari yang cerah dan suhu yang hangat menyambut.

Baju-baju hangat baru kusimpan dalam almari semalam. Aku yakin orang-orang di kota juga melakukan hal yang sama denganku. Mengganti gaya berpakaian mereka menjadi lebih santai dengan bahan-bahan ringan. Kursi di setiap sudut taman menjadi primadona. Beberapa mobil dengan kap terbuka lalu-lalang, betapa menikmatinya orang-orang di kota ini.

Aku berjalan di antara tunas-tunas muda bunga daffodil. Hari ini aku ada janji dengan Helena. Dia teman kuliahku. Katanya, dia ingin berjalan-jalan menghabiskan hari pertama musim semi.

"Kau tahu 'kan kenapa aku masih menggunakan syal?" tanyanya. Dia sudah di hadapanku sekarang. Celana katun berwarna hitam, kaus putih dan kardigan krem, oh, jangan lupakan syal biru mudanya.

"Kuno?" jawabku asal, tentu saja aku bercanda, "Ya, kau selalu terkena demam musim semi." Demam dalam maksud denotasi tentu saja.

"Apakah tahun ini aku akan mengalaminya lagi, ya? Kurasa kekebalan tubuhku sudah membaik," katanya.

"Katakan saja padaku kalau demammu datang," balasku. Kami melangkahkan kaki menuju toko buku. Awal musim selalu ada diskon untuk buku-buku lama. Aku selalu menantikan hal itu.

Helena membeli tiga buku terbitan tahun lalu. Buku bertema romantis yang selalu menjadi kesukaannya. Aku tidak membeli apapun kali ini. Tidak ada satu buku 'pun yang menarik bagiku.

Pukul empat sore, Helena mulai mengeluhkan suhu tubuhnya yang meningkat. Lalu katanya, bukan musim semi kalau tidak berjalan-jalan hingga larut malam.

Dia mengajakku ke toko roti kesukaan kami di kota sebelah. Dia memesan secangkir kopi dengan susu tanpa gula dan roti kayu manis. Seperti biasa, aku memesan teh dengan lemon dan kue beras.

"Kau masih memikirkannya?" tanya Helena setelah menyesap minumannya.

"Maks--" Bohong, aku tahu siapa yang dia maksud.

"Thomas,"

"Cukup sering. Tidak! Maksudku, beberapa kali," Bohong lagi, aku selalu memikirkannya.

"Ini sudah dua tahun, Kath, bagaimana jika kalian bicarakan baik-baik?"

"Memangnya ada yang perlu kubicarakan?" tanyaku dengan nada sarkastik.

"Ada," jawab Helena. Ekspresinya serius. "Perasaannya. Padamu."

"Helen, aku tidak ingin bertengkar denganmu karena masalah ini lagi,"

"Kath, aku tidak mau membuatmu menjadi gadis 21 tahun yang tolol hanya karena cinta,"

"Dia di kota bagian utara, okay?"

"Dan kau masih mencintainya, okay?"

"Ayo, kita hentikan ini Helen," Gerimis mengguyur di hari pertama musim semi tahun ini.

"Kita pulang sekarang,"

Helena dan aku menaiki bus antar kota. Aku turun di halte dekat rumah Helena dan melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki. Kupikir hujan sudah berhenti tadi sore. Namun, nyatanya tidak. Hujan mengguyur malam ini. Suhu udara menurun lagi.

Aku mengambil dan lantas membuka payung dari tas punggungku.

Aku menunggu rambu menyeberang jalan berubah hijau. Deretan pertokoan diramaikan warga kota yang berburu diskon.

Hijau! Seruku dalam hati, kegirangan.

Aku berjalan bersama beberapa orang di sebelahku dan lebih banyak di sisi seberang jalan. Seolah ada kekuatan tak kasat mata, waktu terhenti. Mataku terpusat pada sosok tinggi dengan rambut pirangnya itu. Tidak terlalu yakin dengan warna rambutnya, karena dia menutupnya dengan hoodie.

"Kau bilang, kau suka hujan. Tapi kenapa kau membuka payungmu ketika hujan?"

Ketika aku sadar, ternyata waktu tetap berjalan normal, aku tertinggal jauh di tengah jalan raya. Mencoba mengabaikan gejolak aneh karena merasa kejadian ini terjadi berulang kali dalam hidupku. Mencoba mencerna perkataan yang baru kudengar tadi.

Aku tahu. Dia Thomas.

Afraid [TBS/SHORT STORY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang