Four/Four

157 23 9
                                    

Musim dingin tahun ini,

Tahun ini, aku menghabiskan malam pergantian tahun di pusat kota. Bertarung melawan hawa dingin untuk menikmati kembang api setahun sekali.

Pukul 11 lebih 45, panitia acara sibuk mempersiapkan kembang api. Aku memilih duduk di kursi taman. Kursi itu terbuat dari besi yang semakin membuatku kedinginan. Menyesali keputusanku untuk tidak memakai syal dan sarung tangan.

Seorang laki-laki duduk di sebelahku tanpa berkata apapun. Dia membersit hidungnya. Aku menawarkan sekotak tisu yang disambutnya dengan gumaman terima kasih. Oh, tidak! Itu dia!

Aku tidak sanggup memandang sosok itu. Memandang sosoknya hanya akan  membuatku takut. Takut kehilangan, takut disakiti, atau malah takut menghilang setelah menyakiti atau menghilang setelah disakiti.

"Akhirnya kita bisa bicara," katanya. Aku beranjak dari kursi, tangannya yang dingin menarikku.

"Aku sudah cukup berbicara," balasku.

"Berkata bahwa kau mencintaiku dan berniat menghindariku selamanya, huh?" tanyanya retorik. "Itu yang kau sebut cukup? Tidak, Kath. Kau bahkan belum mendengar jawabanku. Alasan kepindahanku juga." lanjutnya dengan nada tetap tenang tapi, ketenangan itu membuatku merasa sedang diinterogasi.

Aku memberanikan menatap wajahnya. Manik coklatnya bercahaya dan rambut pirangnya semakin memanjang dari yang kukenang.

Atau mungkin hanya perasaan cemas? Kecemasan berlebihan ketika membuat keputusan untuk mencintai seseorang. Apakah dia mencintai kita sama dengan cinta yang kita berikan?

"Kau berhak mendengar jawabanku," katanya lagi. Dia melepaskan syal merah marun dan dia berdiri di hadapanku. Kemudian mengalungkan syal lembut itu di leherku. "Aku tidak pernah menghindarimu. Di Kota Utara, aku tinggal bersama ibuku. Mereka bercerai."

Bisa juga itu hanya perasaan ragu. Keraguan akan cinta dan subjek pencinta.

"Bukan hakku untuk meyakinkanmu dengan jawabanku,"

Aku takut. Selalu ada seribu satu alasan untuk itu. Takut perasaannya mungkin hanya perasaan semu, bukan sebenarnya. Dia membohongi perasaannya karena ada kondisi yang membuat seperti itu. Padahal itu adalah hal yang belum terjadi atau bahkan tidak akan terjadi. Hanya sebatas angan. Imagi antara diriku dan ketakutanku. Katanya,

"Aku juga mencintaimu,"

Dia mengecup keningku lantas aku balas memeluknya. Klise, kebahagiaan itu juga disambut dengan ledakan kembang api yang menghiasi langit kota mengawali tahun baru.

Afraid [TBS/SHORT STORY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang