Two/Four

134 23 10
                                    

Bulan kedelapan tahun ini,

Warga kota kami memilih berdiam di dalam rumah dengan es serut dan pengkondisi udara yang diatur sedingin mungkin. Hampir sama dengan musim dingin, musim panas kota kami juga sama ekstremnya. Suhu sangat tinggi ditambah udara yang kering.

Walaupun kami berada di negara yang sama, musim panas di kota bagian utara sangat indah. Banyak dari warga kota kami menyewa cottage pinggir pantai atau sekadar bertamasya sesekali ke sana.

"Bagaimana jika kita berjemur?" tanya Helena yang bersiap dengan setelan pantainya.

"Tidak. Aku tidak tertarik kulitku terbakar matahari," balasku.

"Berenang?"

"Kau harusnya tahu aku payah dalam berenang,"

"Main pasir?"

"Kita sudah 21 tahun, ayolah!"

"Berjalan di pinggir pantai?"

"Lakukan apapun rencanamu dan aku tidak akan menganggumu,"

"Ah, tidak seru!"

Aku mengabaikannya. Helena berlari keluar cottage dan berbaur dengan beberapa perempuan fakultas hukum.

Kampusku mengadakan karya wisata di salah satu pantai kebanggaan Kota Utara. Tidak sama dengan teman-temanku, juga Helena yang berjemur atau berenang di pantai, aku memilih menikmati pantai dari balkon cottage yang disewa kampusku.

"Kath! Ayo bermain voli bersama kami!" seru Helena dari bawah.

"Tidak, aku ingin membeli es serut saja," tolakku.

"Wah, aku mau satu!"

"Baiklah, apa ada lagi yang mau es serut?" tawarku. Empat dari pemain voli itu mengangkat tangannya. Enam es serut, atau aku harus membeli popsicle juga?

Aku mengikat rambutku menjadi kuncir kuda dan mengganti sepatuku dengan sandal karet.

Aku mengetikkan deretan huruf di mesin pencarian ponselku untuk menemukan toko penjual es serut yang enak. Kemudian, berjalan ke arah toko oleh-oleh yang terkenal dengan kafe unik bertema tropical.

Jalan raya di sini terik sekali, pikirku.

Kulitku mulai lembap berkeringat. Aku menyeberang jalan memutuskan untuk berjalan di bawah kanopi toko-toko yang berderet itu, terlihat lebih teduh maksudku.

Aku berlari kecil di antara bayangan gedung-gedung yang dipantulkan matahari. Tanpa sengaja aku menabrak laki-laki sehingga lemonade yang dipegangnya terjatuh.

"Kau bilang kau suka matahari, tapi kenapa kau mencari tempat berteduh ketika matahari bersinar?"

Seketika bola mataku membulat. Laki-laki dengan muscle tee berwarna hitam dan celana pendek krem itu adalah Thomas. Aku bahkan lupa bahwa dia tinggal di kota bagian utara.

Aku buru-buru melangkahkan kaki, menjauhinya. Berhasil mengabaikan gejolak aneh yang lagi-lagi karena merasa kejadian ini terjadi berulang kali dalam hidupku.

"Hampir dua tahun, dan kau masih menghindariku," lanjutnya, "Musim semi kemarin dan hari ini juga?"

Langkahku terhenti, bukan jawaban yang dapat kutegaskan. Hanya lirihan yang akan tersapu angin.

Aku takut, Thomas.

Afraid [TBS/SHORT STORY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang