Three/Four

117 23 10
                                    

Bulan kesebelas tahun ini,

Hari ulang ibuku tiba akhir bulan November. Hari ini.

Musim gugur selalu menjadi musim yang paling kutunggu. Bias jingga beradu dengan daun-daun yang berubah menjadi kecoklatan. Indah 'kan?

Suhu udara menurun dengan angin kencang sesekali.

Aku merapatkan jaketku. Sore ini aku datang terlalu larut ke pemakaman. Bias jingga sudah mulai nampak. Aku meletakkan buket mawar putih di pusara ibuku dan memanjatkan doa untuknya.

"Selamat ulang tahun, Ibu," ucapku pelan menelan tangis. Ibu selalu mengajarkan untuk menjadi gadis yang kuat dan tabah. Aku memutuskan tidak berlama-lama di sini. Sebentar lagi hari mulai gelap. Aku berjalan kaki pulang.

Sesampainya di rumah, hanya ruang tamu gelap yang menyambutku. Empat tahun lalu, ruang tamu ini menjadi tempat hangat bagi keluargaku. Kini, tidak ada lagi yang bersisa dari keluargaku yang hangat. Umurku 17 tahun kala itu. Ibuku meninggal karena kanker paru-parunya. Setahun kemudian, ayah menikah lagi dengan wanita muda. Kakak laki-laki tertuaku tidak terima, dia mendekam di penjara sekarang karena rencana pembunuhan terhadap ayah. Kakak perempuanku menikah dan dia berpindah ke negara tropis tahun lalu.

Di masa-masa itu, aku bersamanya. Namanya Thomas. Dia temanku dari sekolah dasar. Juga tetanggaku. Ayahnya menjadi waliku hingga aku sekolah menengah atas. Setelah kelulusan, dia berpindah ke kota bagian utara. Entah mengapa, tapi aku menuduhnya menghindariku. Tapi, ternyata tidak. Setiap libur pergantian musim dia selalu mencoba menemuiku, karena aku adalah gadis tolol jadi aku memilih menghilang dari hidupnya.

Namun, musim gugur tahun ini agak berbeda. Kudengar kabar dari Helena, Thomas tidak akan mengunjungi kota kelahirannya. Dia sedang sibuk dengan kuliahnya.

Aku mengunci pintu rumah dan menuju kamarku. Menyempatkan diri mengambil setoples kukis kacang.

Aku membuka jendela kamarku dan duduk di sana. Mulai memakan sekeping kukis. Menikmati indahnya senja sambil melamun. Daripada melamun aku memilih menelepon Helena.

/"Tumben sekali kau meneleponku?"/

"Aku sedang tidak ada kerjaan, tahu,"

/"Baik-baik, kita bicarakan apa?"/

Aku berpikir sejenak, "Menurutmu, aku bodoh tidak menyatakan cinta padanya waktu itu?"

/"Dia itu artinya Thomas bukan?"/

"Siapa lagi?"

/"Well, menurutku itu tidak bodoh,"/ Helena menghirup napas dalam-dalam, /" Yang bodoh itu kau menghindarinya terus-terusan!"/

"Aku takut, Helen! Bagaimana jika aku akan---"

/"Jelaskan rasa takutmu padaku!"/

"..." Aku terdiam. Tidak punya jawaban yang cukup bagus untuk menjelaskan perasaanku.

/"Kau mencintainya tapi, kau takut. Dua realitas yang merupakan wujud dari perasaan mendasar manusia,"/

Benar.

Kami berbicara sepanjang senja. Pukul tujuh malam, aku menutup lagi jendela kamarku setelah merasa kedinginan. Kutebak kalau Thomas ada di sini, dia akan bilang,

"Kau bilang kau suka angin, tapi kenapa kau menutup jendelamu ketika angin bertiup?"

Aku tertawa dengan imajinasiku sendiri.

Aku rindu, tapi aku takut.

Afraid [TBS/SHORT STORY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang