Chapter 1

8.1K 493 67
                                    

"Aish ...." Kai menggerutu malas. Menggeliat tak jelas di atas tempat tidurnya. Matanya bahkan masih terasa berat untuk dibuka. Jelas saja, sekarang masih pukul 4 pagi, tapi ia terpaksa bangun karena hasrat alamiah membuatnya harus rela mengakhiri mimpi tak indahnya itu.

Dia baru pulang pukul sebelas tadi malam. Kemudian masih harus mengerjakan tugas hingga pukul satu pagi. Mimpi yang baru dia coba rajut harus berakhir dengan tidak elitnya.

Dengan pelan, Kai beranjak dari atas kasur. Tempat tidurnya ini sudah tua hingga menimbulkan suara berderit jika dia melakukan pergerakan sedikit saja. Kai tidak mau membangunkan adiknya yang masih dibuai mimpi. Jadi dengan langkah berjinjit dia berjalan ke arah pintu sebelum matanya menatap sesuatu di atas nakas.

"Masih banyak?" gumamnya. Kedua alisnya bertaut, dahinya pun berkerut. Kai ingat, ini sudah akhir bulan. Harusnya persediaan obat Sehun sudah habis.

Sehun, adiknya itu sudah sakit sejak lama. Penyakit turunan dari ibu mereka. Jantung koroner yang memaksa mereka untuk menjadi piatu di usia muda.

Kai geram, hasrat ingin buang airnya menguap entah ke mana begitu melihat tabung obat Sehun yang seharusnya sudah tinggal sedikit ternyata malah tersisa cukup banyak. Tidak sulit baginya untuk menyimpulkan bahwa adiknya lagi-lagi melewatkan jadwal wajibnya.

"Berapa banyak dia melewatkan jadwal minum obatnya itu? Dasar anak nakal!"

Sambil menggerutu, Kai mengembalikan tas kecil berisi obat-obatan itu secara kasar. Untungnya, suara yang dihasilkan tidak terlalu keras sehingga si tukang tidur di ranjang sebelah kiri nakas tidak perlu terbangun.

Kai mengambil langkah lebar-lebar untuk keluar dari ruangan yang dihuninya bersama Sehun. Rasa kesal tiba-tiba membuatnya haus.

"Apa sih maunya? Hanya disuruh minum obat dan tetap sehat saja susahnya minta ampun. Nanti kalau sudah sakit baru tahu rasa." gerutuan kecil tak henti-hentinya keluar dari mulut Kai.

Si pemilik kulit paling gelap di keluarga itu meneguk air mineral langsung dari botolnya yang ia ambil dari lemari pendingin usang peninggalan orangtua mereka. Matanya memerah, percampuran antara mengantuk dan kesal.

Dia bukannya tidak mengerti bahwa adiknya yang terkadang lebih manja dari Taeoh, adik bungsunya, hanya berniat untuk tidak membuat dirinya dan Chanyeol kesulitan. Tapi Kai tetap tidak suka.

Kai tidak mau kejadian yang menimpa ibunya dulu menimpa Sehun. Serangan jantung yang terlambat ditangani membuat ibu harus meregang nyawa dengan cara yang menyakitkan. Kai benci mengingat hal itu.

"Kai?"

Kalau boleh jujur, Kai kaget dengan panggilan mendadak itu. Atau mungkin sebenarnya tidak mendadak, hanya saja dia sedang melamun tadi. "Kalau saja aku Sehun, mungkin aku sudah mati berdiri." Pikirnya keji.

"Tumben sekali kau sudah bangun sepagi ini." Itu Chanyeol. Kakaknya ini memang setiap hari bangun sangat pagi. Pekerjaan menuntutnya untuk begitu.

Sebagai seorang pengantar susu, mau tidak mau Chanyeol harus merelakan waktu tidurnya berkurang di pagi hari. Pukul lima pagi dia harus sudah sampai di tempatnya bekerja, dan butuh waktu tiga puluh menit dengan sepeda untuk sampai di tempat tersebut. Jadi mau tidak mau Chanyeol harus sudah bersiap di pagi buta. Bukan hal aneh jika dia sudah siap di hari yang masih sangat awal itu.

Di sini, Kai lah yang aneh. Anak itu tidak biasanya bangun sepagi ini. Paling tidak pukul setengah tujuh dia baru akan bangun. Bahkan adik mereka, Taeoh yang baru berusia enam bisa bangun lebih pagi darinya.

"Eh? Tidak apa-apa. Aku hanya ingin ke kamar mandi saja." jawabnya jujur dan kikuk.

Kai tidak mau membicarakan soal kekesalannya kepada Sehun. Kasihan kakaknya, sudah terlalu banyak beban yang dipikul Chanyeol. Biarlah untuk yang satu ini dia yang akan menyelesaikannya dengan Sehun nanti.

The DearestWhere stories live. Discover now