Chapter 2

4.3K 392 38
                                    


Kata orang bijak, kemarin adalah sejarah. Apa yang terjadi kemarin, maka selesai pula kemarin.

Insiden meja makan itu telah berlalu. Sehun mulai membaik sekarang. Chanyeol pun tak tahu apa yang terjadi. Tak ada yang memberitahunya. Nampaknya, Kai berhasil menutup mulut si bungsu agar tidak menceritakan apapun kepada hyung-nya itu.

Kejadian tak menyenangkan di pagi musim dingin kemarin seolah berlalu begitu saja bersama pergantian hari. Bahkan Sehun sudah kembali ke sekolah. Bersama Kai tentunya. Bodyguard sepanjang waktu yang hanya dimiliki oleh seorang Kim Sehun.

"Hyung, mengapa Kai Hyung lama sekali, sih?" cicit Taeoh yang mulai jenuh menunggu Kai kembali.

Sekarang mereka ada di halte bus yang tidak jauh dari sekolah Taeoh. Sudah merupakan rutinitas untuk tiga saudara ini berangkat dan pulang sekolah bersama. Agar bisa saling menjaga selama di perjalanan, katanya. Padahal jika dipikir, kasihan Taeoh. Jam pulang sekolah mereka tentu saja berbeda.

Taeoh yang masih duduk di sekolah dasar memiliki jam pulang sekolah yang lebih awal dibanding kedua kakaknya. Tapi itulah alasan lain Kai mengusulkan agar mereka selalu pulang sekolah bersama. Dia dan Chanyeol khawatir jika saja mereka meninggalkan si bungsu sendirian di rumah menunggu kakak-kakaknya pulang.

Maka dari itu, dengan kerendahan hati, mereka meminta kepada salah satu guru di sekolah Taeoh untuk menjaga adik mereka itu di sekolah sampai setidaknya Kai dan Sehun pulang.

Beruntung, sekolah Taeoh dan sekolah Sehun – Kai tidak jauh. Jadi mereka bisa pulang bersama setiap hari.

"Entahlah. Hyung-mu yang satu itu kan memang lambat. Kau seperti tak tahu Kai saja."

Taeoh memutar bola matanya malas mendengar jawaban Sehun. Tidak sadar diri sekali hyung-nya ini. "Kau sama lambatnya, Hyung."

Adiknya itu, meskipun masih kecil tapi pedas sekali kata-katanya. Kadang membuat Sehun berpikir, siapa yang dia tiru sebenarnya. Karena seingatnya, ayah dan ibu mereka bukan tipikal orang yang bermulut tajam. Sehun hanya lupa, bahwa kemungkinan besar, dirinyalah yang membuat Taeoh bermulut pedas sepertu itu.

Sehun menoleh, kemudian tertawa kecil. Ah ... dia melupakan fakta itu. Fakta bahwa dirinya memang lebih lamban daripada Kai.

"Heiyy, pintar sekali mulutmu itu. Asal kau tahu ya, jika jantung ini normal dan tidak suka berulah, aku akan bergerak secepat kilat, Taeoh-ya." Tangan Sehun mengacak lembut puncak kepala Taeoh dengan gemas. Bocah laki-laki itu pun mendongak, menatap wajah Sehun dengan rasa bersalah.

"Maaf, Hyung. Bukan begitu maksudku." Taeoh menunduk sedih.

Taeoh ini, selain pintar dia juga tipe anak yang peka terhadap sekitar. Dia jadi merasa bersalah karena ucapannya tadi. Merasa sudah menyakiti hati kakaknya. Padahal sungguh ... bukan itu yang dimaksud dirinya tadi.

"Hei ... tidak apa-apa. Mengapa jadi sedih begitu?"

"Aku menyakiti hatimu, Hyung. Maaf."

"Aku kan sudah bilang tidak apa-apa. Mengapa kau jadi cengeng begini, sih. Seperti wanita saja." Dan Sehun, memang sudah kodratnya menjadi orang yang usil sejak lahir. Bahkan adiknya sendiri pun seringkali menjadi korban.

"Tapi ...."

"Lihat, Kai datang!" seru Sehun semangat.

Di depan sana, Kai berlari dengan peluh bercucuran. Berhenti sejenak di sebrang jalan. Menunggu kendaraan sedikit lengang agar bisa menyebrang.

The DearestWhere stories live. Discover now