10/04/18
"...dek..."
Seperti hari-hari lainnya Kal menjadikanku sasaran empuk. Memanggil-manggil, meski belum meenyuruh melakukan ini-itu. Aku yang sedang bebas tugas dan memilih untuk marathon film menyahut pelan dari ruang tengah. Sedetik kemudian sosoknya muncul dari balik pintu kamar, berdiri di ambang pintu.
Kal malam ini terlihat begitu kusut. Rambutnya acak-acakan seperti orang bangun tidur, mata sayu dengan bulatan hitam di sekotarnya, wajah minyakan belum cuci muka, baju... jangan di tanya lagi. Ia hanya mengenakan sleevless bergaris garis dan celana pendek berwarna hitam. Sambil menggaruk-garuk lengannya Kal kembali memanggilku.
"Dek, kamu ada tugas nggak?"
Aku terperangah. Tumben nanya? Ada prolognya dulu, ya...
"Kenapa emang?"
Kal masih menggaruk-garuk lengannya. "Bantuin aku, sini."
"Dih?"
"Ayo... bebas kan? Nggak ada ulangan juga?"
"Nggak mau, ah. Ini lagi klimaks. Sherlocknya mau dibunuh."
Aku yang tadinya menoleh pada Kal kembali fokus menonton. Membiarkan keheningan malam melanda rumah untuk sesaat. Biasanya Kal in annoying way bakal ngebujuk ((maksa)) untuk aku bantu dia, tapi entahlah. Malam ini agaknya berbeda. Saat aku melirik tempatnya tadi berdiri dia sudah hilang.
Ada sepuluh menitan aku masih melanjutkan menonton hingga sebuah sosok muncul tepat di samping kananku.
"Mama kagett!!"
Kalau laptop yang sedang menayangkan film detektif itu kuletakkan di pangkuan, pasti sudah tergeletak mengenaskan di lantai.
Aku refleks melompat, berdiri dari duduk dengan tangan terangkat. Kaget.
"Kok tiba-tiba ada di situ??!" Tanyaku.
Kal mengabaikan. "Dek, bantuin aku, lah... nanti dapet sekotak biskuit bayi deh, gratis," pintanya lagi.
Aku mengernyit. "Nggak deh, pass dulu."
"Ya udah dua boks, gimana?"
Haduuuh, manusia satu ini. Kayaknya isi otaknya cuman biskuit bayi, deh.
"Tidak terima sogokan biskuit bayi." Kataku sambil memeberi gestur menolak.
Kal seketika manyun, cemberut, lantas melengos pergi menuju dapur tanpa banyak bicara. Ia mengambil sebotol air dingin dari kulkas dan kembali masuk ke kamarnya. Langkahnya terlihat sangat lemas.
Baru juga aku kembali duduk dan memplay film, suara tangisan samar terdengar dari dalam kamar Kal. Mau tidak mau akhirnya aku melangkahkan kaki ke kamarnya.
"Kok nangis??" Tanyaku saat melihat Kal sedang tidur telungkup di kasur berantakannya. Ransel dongker, jaket abu, buku-buku sampai kaos kaki berserakan.
"Siapa yang nangis?" Kal mengangkat wajah, menatapku datar.
"Barusan kayak suara nangis itu apa?"
"Nggak tahu. Kucing tetangga abis putus sama pacar kali."
Kenapa jadi nggak jelas, sih?
Demi melihat Kal yang kembali membenamkan wajahnya pada bantal dan menendang-nendang konyol aku mendekat.
"Mana deh, aku bantuin," kataku pada akhirnya. "Tapi bantuin yang sewajarnya. Jangan disuruh bikin laporan."
Gerakan spontan yang berhasil membuat buku-buku berjatuhan terjadi. Kal duduk di hadapanku dengan wajah sumringah.
"Beneran ya?"
Aku dengan ragu mengangguk.
"Oke terimakasih alesha adiknya alvin yang ganteng. Nanti aku traktir es krim."
"Es krim mahal, ya."
"Siap. Aku mau mandi dulu tapi. Kamu lihat kertas setumpuk di meja? Itu tolong urutin perhalaman lalu hekterin satu-satu, ya. Terima kasih."
Sementara Kal mengambil handuk untuk mandi aku mendekati meja belajarnya.
"Hekternya mana?"
Kal menoleh. "Nah itu. Kamu beli dulu ya, di fotokopi depan. Sekalian beli es krimnya, boleh. Pakai uang kamu dulu, ya. Nanti aku ganti."
Aku menatap datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
brother :: KAK ALVIN ○●
Fiksi PenggemarHanya sepenggal keseharian Alesha dan Alvin. + Random update because this is daily life +13 Januari 2018