Sendang 12 - Tidak Ada Pilihan Lain.

2.9K 162 5
                                    

Ambil patinya, buang ampasnya.

*****

Happy Reading 😊

Jaka mengikuti langkah Nawang di depannya. Mereka sudah agak jauh dari sendang tapi Nawang belum juga berhasil menemukan gaunnya. Seakan gaun itu menghilang ditelan bumi. Namun, gadis itu tak jua menyerah. Nawang masih bersikeras mencari. Sementara Jaka hanya mengikuti langkah gadis itu dalam diam.

Tak ingin membuang waktu percuma, Jaka kembali mencoba peruntungannya. "Sepertinya gaunmu benar-benar hilang. Kita sudah lama mencarinya tapi tak juga ketemu," ujar Jaka.

Tak ada balasan dari Nawang, gadis itu tengah melirik ke kiri dan kanan mencari gaunnya, meski tangan gadis itu berusaha menyingkirkan ranting pohon yang mengganggu. Tak memedulikan apa yang diucapkan oleh pemuda yang mengekor di belakangnya.

"Kita sudah terlalu lama berjalan, sebaiknya kita istirahat sebentar."

Mata Jaka menangkap buah pepaya masak yang menggantung di atas pohon. Perut pemuda itu butuh asupan, mengabaikan bidadari keras kepala yang masih sibuk mencari gaunnya. Jaka berjalan mendekati pohon pepaya yang tumbuh subur di tengah hutan.

Jaka mencoba memanjat pohon pepaya yang tidak terlalu tinggi itu. Mungkin pepaya itu jenis California yang batang pohonnya tidak terlalu tinggi, meski begitu daging buahnya terkenal manis.

Dengan sekuat tenaga, Jaka membelah buah pepaya setelah berhasil membawanya turun. Menawarkan pada Nawang yang rupanya mengikuti ajakan Jaka untuk beristirahat.

Pemuda itu melihat lecet di beberapa kaki Nawang ketika pemuda itu berjongkok, hendak duduk.

"Duduklah, kamu terlihat kelelahan. Makan ini," tawar Jaka.

Nawang menerima dalam diam, gadis itu pun merasa lapar dan lelah. Entah sampai kapan ia akan bertahan di bumi tempat manusia hidup. Nawang tidak tahu.

"Lebih baik kamu berhenti mencari gaunmu dan pulang, hari sudah terik dan tak lama malam akan datang. Akan berbahaya jika berada di tengah hutan ketika malam hari."

Jaka mencoba mengawali pembicaraan, semoga Nawang mau mengerti. Bagaimanapun, tidak baik bagi gadis itu berada di dalam hutan.

Gadis itu masih terdiam, tak menghiraukan ucapan Jaka.

Mengembuskan napas lelah, pemuda itu belum memejamkan mata barang sejenak.

"Katakan di mana rumahmu, lalu aku akan mengantarmu pulang."

Gadis itu masih tetap bergeming. Tangannya sibuk menyuapkan pepaya ke dalam mulut. Mengabaikan tawaran Jaka.

Jaka hanya bisa menyenderkan kepalanya pada batang pepaya yang berada di belakangnya.

"A-aku tidak bisa pulang ke rumah." Setelah sekian lama hening melanda keduanya, akhirnya gadis itu bersuara.

Menaikkan satu alisnya, menatap gadis yang tengah duduk bersimpuh di atas tanah. "Kenapa?"

"Karena aku kabur dari rumah," jawab Nawang.

Jaka tahu, gadis itu berbohong. Nawang bukan kabur dari rumah, melainkan tidak bisa kembali lantaran kehilangan gaun dan selendangnya.

"Bagaimana kalau ikut pulang bersamaku?" Jaka kembali mencoba peruntungannya.

Gadis itu terdiam. Jaka tahu, gadis itu tengah berperang dengan batinnya.

"Apa tidak merepotkan?" Alih-alih menjawab, Nawang justru melempar pertanyaan.

Jaka menyunggingkan senyum tipis, pemuda itu sangat-sangat tidak keberatan apalagi jika gadis di hadapannya bersedia menghangatkan ranjangnya. Jelas ia tak akan menolak atau merasa keberatan. Tentu saja!

"Tentu saja tidak, kamu bisa membantuku membereskan apartemenku," kekeh Jaka. Pemuda itu mencoba mendapatkan kesempatan lebih.

Nawang menatap Jaka lugu, gadis itu tidak mengerti maksud ucapan pemuda di depannya.

"Apa itu apartemen?"

"Kamu tidak tahu apa itu apartemen?"

Nawang menggeleng tidak mengerti. Dia sama sekali tak mengerti cara kehidupan di bumi. Mungkin kali ini ia harus belajar untuk memahami, karena ia tak tahu sampai kapan akan tinggal di dunia manusia.

"Apartemen itu semacam rumah tapi bertingkat," ujar Jaka. Namun, melihat raut bingung Nawang, pemuda itu menghentikan penjelasannya.

"Sudahlah, percuma aku menjelaskan kalau kamu tidak tahu," desah Jaka.

"Aku akan belajar untuk tahu," jawab Nawang lugu.

Mengembuskan napas pasrah, Jaka mencoba menawarkan kembali tawarannya.

"Aku akan menunjukkan seperti apa apartemen itu. Yang artinya kamu harus ikut pulang denganku."

Hening.

Hampir tak ada kata yang keluar dari bibir mungil itu.

"Lebih baik ikut pulang bersamaku daripada kamu sendirian di tengah hutan. Jika ada binatang buas menerkammu bagaiamana? Ada ular saja kamu menjerit ketakutan."

Menepis keraguan dalam benak, Nawang mencoba menerima kenyataan bahwa tak ada pilihan lain selain ikut bersama pemuda yang baru saja dikenalnya.

"A-aku mau ikut sama kamu ...." Suara gadis itu terdengar lirih. Namun, Jaka tetap bisa mendengarnya.

Menoleh, Jaka mencoba memastikan jika yang ia dengar tidak salah. "Apa kamu bilang?"

"Aku mau ikut pulang sama kamu." Nawang mengulang kembali ucapannya.

Hampir-hampir Jaka bersorak gembira jika tidak mengingat rencananya. Ia berhasil. Gadis itu bersedia ikut bersamanya.

Setidaknya bermain di dalam apartemennya lebih menyenangkan daripada di tengah hutan liar. Sistem keamanan dan fasilitas kedap suara yang dimiliki apartemennya jelas akan mendukung semua pemikiran kotor yang ada dalam kepalanya.

Ah .... Memikirkannya saja membuat celana Jaka terasa sesak. Pemuda itu tak akan menyia-nyiakan kesempatan. Ia bisa menikmati keindahan bidadari itu sepuasnya. Jika Jaka sudah puas mungkin ia bisa membuang gadis itu.

Seperti kata pepatah, ambil patinya, buang ampasnya. Itulah yang akan dilakukan oleh Jaka. Ia akan mengambil seluruh rasa manis dalam diri Nawang Wulan. Lalu ketika ia sudah bosan, Jaka bisa membuangnya.

Lagipula, tak akan ada yang mengenal gadis itu. Jelas saja, bidadari itu tidak memiliki kartu identitas. Membunuhnya pun tak akan ada yang mencarinya.

"Baiklah. Sekarang kita kembali ke sendang, sepertinya bajuku sudah kering. Setelah itu kita keluar dari hutan, tidak baik berada di sini ketika malam hari," tutur Jaka.

Nawang hanya mengangguk pasrah, ia hanya mengikuti pemuda itu. Keduanya berjalan menuju sendang, mengambil baju Jaka yang telah kering. Setelah memakai baju, tak lupa Jaka memberikan jaket miliknya untuk Nawang. Setidaknya itu melindungi tubuh gadis itu dari pandangan mata, termasuk dirinya. Melewati rimbun pepohonan, keduanya mencari jalan keluar menuju kota.

Jaka bahkan melupakan acara studi banding yang diadakan oleh kampusnya. Pemuda itu hanya bisa berharap, semoga saja Kribo mau berbaik hati membawa barang-barangnya.

To be continue.

SENDANG (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang