Sendang 22 - Tidak Percaya

2.2K 116 1
                                    

Air susu dibalas air anu.

***

Happy Reading 😊

Menatap Ridwan dalam diam, Jaka tahu, sahabatnya itu tengah memasang raut wajah penasaran.

"Kalau?" tanya Ridwan.

"Kalau gue ketemu bidadari?"

Jaka akhirnya mengungkap rahasia yang tengah ia tutupi. Ada rasa lega dalam hati pemuda itu, meski respons yang ia dapatkan sangat jauh dari bayangan Jaka.

Reaksi Ridwan yang terdiam membuat Jaka mengerutkan kening. Ada tatapan tak percaya dilayangkan Ridwan pada Jaka sebelum akhirnya pemuda berambut kribo itu tertawa keras.

"Ha ha ha ... lu tuh garing banget sih, Jak? Kebanyakan ngayal lu, ya?"

Suara teguran keras terdengar ketika keributan terjadi di meja yang ditempati oleh Jaka dan Ridwan.

Menunduk seraya meminta maaf, Jaka memilih mengabaikan Ridwan yang langsung menutup rapat mulutnya. Sahabatnya itu terlihat salah tingkah. Tertawa keras dalam perpustakaan adalah hal yang dilarang keras.

"Jak, gue tau lu terobsesi sama bidadari, tapi jangan sampai lu tuh berimajinasi kalau lu ketemu bidadari," bisik Ridwan.

Jaka tak menjawab. Tangannya sudah menyingkirkan buku makalah yang dibawa oleh Ridwan dan kembali mengerjakan tugas. Waktu terus berjalan, sementara Jaka belum selesai mengerjakan tugas.

Tidak menyerah, Ridwan kembali berkata, "Ini tuh 2018, Jak. Kita ada di zaman modern, bukan di zaman kerajaan Majapahit," kekeh Ridwan. Sepertinya Jaka terlalu banyak berkhayal, pikir Ridwan.

"Gue juga masih keturunan kerajaan, itu kalau lu lupa, Bo," sanggah Jaka.

"Ah iya, gue lupa kalau lu pangeran, Jak." Ada nada mengejek dalam suara Ridwan. Baru kali ini, Jaka membawa darah biru yang mengalir dalam nadinya. Biasanya pemuda itu terlihat enggan membahas segala sesuatu tentang dirinya.

Jaka yang ia kenal hanya pribadi yang sederhana dan tidak neko-neko. Pemuda itu juga sedikit tertutup, jarang sekali bercerita tentang keluarganya. Ridwan pun tidak akan mengetahui status Jaka yang masih keturunan darah biru jika ia tidak sengaja datang ke apartemen pemuda itu saat ada keluarganya. Setelah pertemuan tidak disengaja itu, akhirnya Jaka menceritakan bahwa dirinya keturunan kerajaan Mataram.

Getaran pesan terasa mengganggu, Ridwan merogoh saku celananya mengambil ponsel yang menunjukkan notifikasi pesan masuk.

Lu di mana? Bentar lagi Pak Wawan masuk.

Shit!

Ridwan mengumpat pelan membaca pesan masuk dari Vyn. Jaka menoleh melihat kegusaran dalam diri sahabatnya.

"Ada apa?"

"Pak Wawan bentar lagi masuk. Lu udah kelar belum, Jak?" tanya Ridwan cepat.

"Belum," jawab Jaka santai.

"Kenapa belum, Jak? Pak Wawan bentar lagi masuk. Kok lu santai si?" Ridwan terlihat kesal.

"Lu nggak sadar kalau dari tadi lu tuh ganggu?" balas Jaka kesal.

"Kok lu jadi kesel ama gue? Udah baik gue temenin."

"Gue nggak minta lu temenin!" Jaka tidak meminta Ridwan untuk mengikutinya. Pemuda itu sendiri yang memilih mengekori Jaka hingga ke perpustakaan.

Mengembuskan napas pasrah, Ridwan terdengar mengeluh akan sikap Jaka yang sangat tidak tahu terima kasih.

"Rasanya semua kebaikan gue nggak ada artinya di mata lu, Jak. Bagai air susu dibalas air anu," lirih Ridwan.

"Nggak usah drama!"

Ridwan tertawa pelan, ia berhasil mengusik ketenangan Jaka. Entah kenapa ia suka sekali menggoda Jaka. Ekspresi kesal sahabatnya itu selalu menjadi hiburan tersendiri bagi Ridwan. Meskipun Jaka sering membuat ia kesusahan tapi Ridwan menyayangi pemuda itu.

Setelah mengecek ulang tugasnya, Jaka menyimpan dalam flashdisk sebelum ia cetak untuk diserahkan pada Pak Wawan.

Menyerahkan flashdisk kepada Ridwan, Jaka memberi perintah pada pemuda berambut kribo itu. "Nih, lu print double, ya. Buruan!" titah Jaka.

Mendengkus, Ridwan menyesal telah mengatakan bahwa ia menyayangi Jaka. Pemuda itu hanya suka memberi perintah seakan dia itu kacung rendahan. Sialan!

Dengan gerutuan, Ridwan tetap bangkit dan melakukan apa yang diminta oleh Jaka.

To be continue.

SENDANG (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang